MENGENANG JASA SOEHARTO DI BIDANG KB

Posted: Oktober 25, 2009 in Artikel

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan jasa para pahlawannya” Pepatah tersebut begitu melekat dibenak kita, saat kita berusaha berusaha merefleksi sejarah panjang negeri ini. Dari masa-masa perjuangan merebut kemerdekaan, hingga saat kita harus berjuang mengisi kemerdekaan. Atas dasar itu, sepeninggal Jenderal (Purn) HM Soeharto sebagai mantan Presiden RI ke-2 yang sekaligus sebagai pelaku sejarah negeri yang kita cintai ini, tidak ada salahnya bila kita mengenang kembali jasa-jasa beliau yang bernilai positif terlepas dari segala imej negatif dan kekurangannya sebagai manusia biasa.
Mengkaitkan nama Soeharto dengan KB (Keluarga Berencana), bagi kita dan sebagian besar masyarakat bangsa kita adalah sesuatu yang sangat wajar, karena Soeharto yang di masa kekuasaannya dikenal sebagai “Presiden Murah Senyum” itu memang besar sekali jasanya dalam rangka pengendalian penduduk melalui Program KB. Beberapa bukti atas besarnya jasa Soeharto di bidang KB adalah diterimanya “Global Statement Award” dari Population Institute, Amerika Serikat pada tahun 1988. Perlu diketahui bahwa penghargaan yang kemudian diberi nama “Soeharto Award” ini pertama kali diterima oleh Presiden Zimbabwe. Jadi Soeharto adalah orang kedua yang menerima penghargaan bernilai prestise tersebut. Satu tahun kemudian, tepatnya di tahun 1989, atas keberhasilan Program KB di Indonesia, Soeharto menerima penghargaan tertinggi di bidang kependudukan dan KB berupa “United Nations Population Award” dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Penghargaan ini langsung diberikan oleh Sekjen PBB Javier de Cuellar di Markas Besar PBB di New York. Sementara atas jasanya pula, pada tanggal 21 Februari 1992, lembaga BKKBN sebagai lembaga Negara non departemen yang bertanggungjawab terhadap sukses tidaknya Program KB dan pengendalian penduduk, menerima penghargaan internasional dalam bidang manajemen, berupa “Management Development Award”. Penghargaan ini diberikan oleh lembaga manajemen internasional di Manila, Majalah Executive Digest dan Japan Airlines. Penghargaan manajemen ini sekaligus memberikan pengakuan terhadap kemampuan pemerintah (dibawah kendali Soeharto) dan masyarakat dalam mengelola gerakan KB hingga ke tingkat desa dan pedukuhan. Tahun 1994, penghargaan serupa kembali diterima oleh lembaga BKKBN dalam bidang manajemen operasional.
Soeharto pula yang mencetuskan ide diperingatinya “Hari Keluarga Nasional” setiap tanggal 29 Juni dan diperingati pertama kali pada tahun 1994 di Bandar Lampung. Peringatan Hari Keluarga Nasional yang kemudian lebih dikenal dengan “Harganas” ini hingga sekarang masih kita peringati setiap tahun. Peringatan terakhir belum lama telah di laksanakan di Ambon Provinsi Maluku, 29 Juni 2007 lalu dan merupakan peringatan yang ke-14. Sementara peringatan Harganas ke-15 pada tanggal 29 Juni 2008 mendatang akan diselenggarakan di Kabupaten Tanjung Jabung Provinsi Jambi, Konon, ide pencetusan Harganas adalah sebagai bentuk penghormatan para pejuang khususnya di Kota Yogyakarta yang telah berkumpul kembali pada keluarganya setelah berjuang mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer II oleh Belanda pada tahun 1949. Pada saat itu, keluarga telah kembali utuh karena seluruh anggota keluarga telah berkumpul dan diharapkan secara bersama-sama dapat bahu membahu membangun bangsa menuju bangsa yang maju, adil, makmur dan sejahtera. Sejak saat itu pula, pembangunan berwawasan penduduk dan keluarga (Population and Family Centered Development) menjadi begitu akrab dikenal masyarakat, dan keluarga menjadi sentral dari berbagai program pemberdayaan/pembangunan melalui kegiatan Posyandu, UPPKS, UP2K, kelompok industri dan kerajinan rumah tangga, dan lain-lain.
Di masa pemerintahan Soeharto, Program KB memang telah mencapai hasil yang spektakuler. Dalam hal pengendalian jumlah penduduk misalnya, Prof. Widjojo Nitisastro sebagai Ketua Bappenas saat Repelita I dirumuskan, memprediksi bahwa jumlah penduduk Indonesia di tahun 2000 bakal mencapai 280 juta jiwa dengan angka pertumbuhan yang begitu tinggi. Namun berkat komitmen dan konsistensi pemerintah dalam penanganan program KB dan disertai dengan usaha yang gigih dan terus menerus serta melibatkan secara aktif masyarakat sebagai sasaran program, pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia dapat ditekan menjadi “hanya 200 juta” dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,98%. Ini berarti, selama kurang lebih tiga dasawarsa pemerintahannya, Soeharto berhasil menekan kelahiran sekitar 80 juta jiwa. Sebuah hasil yang begitu fantastis! Apalagi secara perlahan namun pasti, Soeharto telah berhasil mengubah persepsi masyarakat terhadap prinsip “banyak anak banyak rezeki” menjadi “cukup dua anak, laki-laki perempuan sama saja” lewat konsep catur warga yang hingga kini masih dijadikan dasar dan komitmen dalam penyuluhan keluarga berencana.
Keberhasilan yang spektakuler dalam bidang KB, ternyata telah membawa keberhasilan dari sisi ekonomi dan kemakmuran rakyatnya. Pertumbuhan ekonomi di masa pemerintahan Soeharto rata-rata 6,8% setahun, bahkan sempat menyentuh angka 8,1% pada tahun 1995. Perkembangan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia juga naik drastis, Pada tahun 1968 PDB hanya USD 70, meningkat menjadi USD 1.000 di tahun 1996. Jumlah penduduk miskin pun telah berhasil diturunkan secara tajam. Dari 70 juta jiwa atau 60% dari jumlah penduduk di era 1970-an, menjadi 26 juta atau 14%, pada 1990-an. Keberhasilan ini yang nampaknya menarik perhatian negara-negara berkembang di Asia dan Afrika untuk belajar KB di Indonesia. Hingga saat ini tercatat tidak kurang 4000 orang dari 40 negara di dunia yang pernah berkunjung dan belajar KB di Indonesia melalui program ITP (International Trainning Programme)
Harus dipahami bahwa berbagai penghargaan yang diterima oleh Soeharto bukan tanpa perjuangan dan tantangan. Bisa dibayangkan, betapa susahnya merubah imej masyarakat di awal-awal pemerintahannya yang telah terlanjur lekat dengan prinsip “banyak anak banyak rezeki” karena sikap pemerintah sebelumnya yang pro natalis atau mendukung kelahiran itu. Namun berkat komitmennya yang kuat dan diikuti dengan pembentukan lembaga nasional bernama BKKBN yang pimpinannya langsung bertanggung jawab kepada presiden, imej negatif tersebut sedikit demi sedikit telah dapat diubah dan ganti haluan mendukung Program KB. Terlebih saat BKKBN dibawah kendali Dr. Haryono Suyono yang juga memiliki komitmen tinggi untuk mencapai keberhasilan pengendalian jumlah penduduk, keberhasilannya tidak hanya menyentuh pada aspek pengaturan kelahiran, tetapi sudah merambah pada upaya mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera melalui berbagai upaya pemberdayaan keluarga. Ditahun 1980 hingga 1990 an, bisa dikatakan tidak ada Gubernur, Bupati, Walikota, Camat hingga Kepala Desa yang tidak terlibat aktif ikut mensukseskan program KB. Mereka seakan-akan berlomba-lomba mengenalkan Program KB pada masyarakat khususnya Pasangan Usia Subur (PUS). Keberhasilan Program KB di wilayahnya, seakan menjadi semacam “trademark” untuk dapat disegani sekaligus sebagai cara yang efektif untuk meraih dana pembangunan yang lebih besar dari pemerintah pusat.
Kini Soeharto telah tiada, meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Minggu 27 Januari 2008 lalu tepatnya pukul 13.10 WIB, beliau dipanggil Allah SWT pada usia 86 tahun setelah sekian lama menderita sakit dan menerima hujatan, cacian dan hinaan karena pemerintahannya dianggap sarat dengan KKN. Soeharto telah berpindah alam, menuju ke kehidupan yang abadi. Kini saatnya kita sebagai warga yang beragama dan beradab, menunjukkan kebesaran jiwa sebagai makhluk yang paling mulia di sisi Tuhan. Kita harus banyak belajar dari Soeharto bagaimana membangun komitmen sekaligus menyelaraskan antara komitmen dan tindakan untuk mencapai hasil kerja yang maksimal, karena seorang Soeharto memang telah mampu membuktikannnya. Setidaknya, Kepala BKKBN Pusat Dr. Sugiri Syarief, MPA mengakui bahwa semasa pemerintahan Soeharto, Program KB telah dilaksanakan secara gegap gempita dan berhasil. Ini harus menjadi bahan refleksi bagi kita semua, karena saat ini intensitas dan frekuensi pengelolaan KB telah jauh menurun.
Pertanyaannya, akankah jumlah penduduk Indonesia kembali meledak setelah satu dasawarsa Soeharto “lengser keprabon” dari kekuasaannya dan Program KB tidak lagi menjadi program unggulan pemerintah. Pertanyaan ini, menurut Sugiri perlu dilontarkan kembali karena ada kecenderungan secara nasional TFR naik dan menyebabkan rata-rata pertambahan penduduk Indonesia saat ini mencapai 4 juta jiwa per tahun. Ia mengkhawatirkan prediksi Bappenas bahwa dengan kecenderungan pengelolaan Program KB seperti sekarang ini penduduk Indonesia akan meledak menjadi 263 juta di tahun 2025, menjadi kenyataan. Kemungkinan yang lebih buruk pun dapat saja terjadi, karena jumlah penduduk hasil prediksi dapat membengkak menjadi 308 juta jiwa sebagaimana diprediksi oleh Population Reference Bureau (PRB) Amerika Serikat. Bila ini menjadi kondisi senyatanya, sangat sulit bagi bangsa kita untuk bisa maju dan berkembang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Wallahu alam.

Tinggalkan komentar