BUKU PENGAYAAN

Posted: Desember 9, 2009 in Buku

PENGASUHAN DAN PEMBINAAN TUMBUH KEMBANG ANAK REMAJA

Oleh:
Tim Penyusun Buku Pengayaan
Tumbuh Kembang Anak Remaja

DINAS KEPENDUDUKAN CATATAN SIPIL KELUARGA BERENCANA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KABUPATEN KULON PROGO

SAMBUTAN BUPATI KULON PROGO

Anak remaja adalah generasi muda penerus pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Mereka adalah potensi sumber daya manusia yang sangat besar nilainya sekaligus yang akan menentukan cerah buramnya masa depan negeri ini.
Keberhasilan dalam menyiapkan anak remaja kita menjadi generasi yang sehat, cerdas, trampil, berbudi pekerti luhur, serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan menjadi investasi penting bagi masa depan negeri ini sehingga menjadi bangsa yang maju, sejahtera, mandiri dan berdaya saing. Namun sebaliknya, kegagalan dalam pengasuhan dan pendidikan anak remaja, akan menjadi preseden buruk bagi masa depan bangsa dan negara. Karena mereka tidak hanya akan menjadi beban negara, tetapi juga akan merusak tata kehidupan bangsa yang secara perlahan namun pasti akan menggerogoti ketahanan bangsa dan negara menuju kehancuran.
Yang menjadi persoalan, masa remaja adalah masa dalam rentang kehidupan manusia yang rawan terhadap pengaruh dan budaya buruk dari luar. Dengan kebiasaan menirunya yang kuat ditambah belum ditemukannya identitas diri yang mapan, membuat anak remaja kita banyak menemui permasalahan. Sekarang ini, banyak permasalahan kenakalan anak remaja yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Yang cukup memprihatinkan, kenakalan anak remaja saat ini sudah mengarah pada perbuatan yang melanggar norma, hukum, dan agama. Betapa sering kita sekarang ini dikejutkan oleh berita-berita kenakalan remaja yang sudah kelewat batas. Selain banyaknya remaja yang sudah memiliki kebiasaan buruk seperti merokok, minum-minuman keras, berjudi dan berkelahi, tidak sedikit anak remaja kita yang suka membuat keonaran, merusak serta melakukan hubungan seks bebas dan mengkonsumsi narkoba. Walaupun kasus-kasus tersebut tidak berkonsentrasi di Kabupaten Kulon Progo, namun itu semua sebagai “warning” bagi kita agar lebih hati-hati dalam mengasuh dan menbina anak agar tidak salah arah dan salah urus.
Disini dibutuhkan peran orangtua untuk dapat mengasuh dan menbina anak dengan sebaik-baiknya, agar masa remaja anak-anak kita dapat dilalui dengan mulus tanpa hambatan berarti sehingga di masa dewasanya nanti, saat harus memimpin diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa ini telah menjadi orang yang berkepribadian, bertanggung jawab serta mampu memegang teguh nilai-nilai agama dan moral dalam setiap pengambilan keputusan, bertutur kata, bersikap dan berperilaku. Hal tersebut perlu saya sampaikan karena sebagian besar waktu anak remaja dihabiskan dalam lingkungan keluarga, walaupun kita tidak memungkiri bahwa lingkungan sekolah dan masyarakat juga ikut menjadi penentu baik buruknya pribadi anak.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut diatas, saya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap upaya penerbitan buku “Pengasuhan dan Pembinaan Tumbuh Kembang Anak Remaja ” yang ditulis secara terpadu oleh Tim Penyusun dari unsur TP PKK, Dinas Dukcapilkabermas, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Polres dan Kantor Depag Kulon Progo sebagai wujud kepedulian para praktisi tumbuh kembang anak terhadap upaya meningkatkan kualitas anak remaja secara optimal. Buku ini saya rasa sangat layak dan relevan untuk dijadikan sebagai bahan bacaan sekaligus sumber acuan bagi para orangtua yang memiliki anak remaja tentang bagaimana seharusnya mengasuh dan membimbing anak remajanya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga menjadi generasi masa depan yang cerdas, terampil, berbakat, berkepribadian, berbudi perkerti luhur serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sudah barang tentu menjadi harapan kita bersama, anak-anak remaja di Kulon Progo tumbuh menjadi generasi yang berkualitas dan potensial untuk memajukan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Kita harapkan mereka juga menjadi insan pembangunan yang handal, penuh semangat dan daya juang serta tidak takut menghadapi tantangan dan masalah. Dengan demikian, menjadi sebuah keniscayaan, manakala pengetahuan dan wawasan para orangtua terhadap tumbuh kembang anak remaja baik, maka proses pengasuhan dan pendidikan terhadap anak remaja menjadi semakin baik sehingga dapat dipastikan pula hasilnya menjadi lebih optimal.
Akhirnya, mengawali diterbitkannya sekaligus disebarluaskannya buku Pengasuhan dan Pembinaan Anak Remaja ini, saya berharap para orangtua di Kulon Progo semakin memahami dan peduli arti pentingnya tumbuh kembang anak remaja sebagai modal dasar untuk mengantarkan anak menuju generasi penerus yang berkualitas. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan membawa kecerahan dan kejayaan Kulon Progo dalam arti sempit serta kecerahan dan kejayaan bangsa Indonesia dalam arti yang lebih luas.

Bupati Kulon Progo

H. Toyo Santoso Dipo

PESAN KHUSUS TIM PENGGERAK PKK KABUPATEN KULON PROGO
KEPADA PETUGAS/KADER PENGELOLA KEGIATAN YANG MENANGANI TUMBUH KEMBANG ANAK REMAJA

“GUNAKAN BUKU INI SEBAGAI REFERENSI UNTUK MENAMBAH PENGERTIAN DAN WAWASAN KITA TENTANG TUMBUH KEMBANG ANAK REMAJA SERTA BAGAIMANA SEHARUSNYA KITA MENGASUH DAN MELAKUKAN PEMBINAAN TERHADAP ANAK REMAJA SEHINGGA ANAK-ANAK KITA DAPAT TUMBUH DAN BERKEMBANG SECARA OPTIMAL DI PERIODE KEHIDUPANNYA SERTA MENJADI INSAN PEMBANGUNAN YANG TIDAK SAJA SEHAT, CERDAS DAN TRAMPIL, TETAPI JUGA BERTAQWA KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA, BERKEPRIBADIAN LUHUR, MENGHARGAI NILAI-NILAI BUDAYA DAN MORAL SERTA MEMILIKI RASA TANGGUNG JAWAB YANG TINGGI TERHADAP MASA DEPAN BANGSA DAN NEGARA DI KEMUDIAN HARI.”

Wates, 26 Maret 2008
Ketua,

Hj. Wiwik Toyo Santoso Dipo
SAMBUTAN KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN CATATAN SIPIL KELUARGA BERENCANA
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
KABUPATEN KULON PROGO

Sungguh menjadi keprihatian bersama, saat kita mengetahui bahwa tidak sedikit dari anak remaja kita yang terlibat dalam kenakalan remaja. Walaupun belum menunjukkan intensitas yang menonjol bila di bandingkan dengan kabupaten/kota lain di DIY, namun kasus-kasus yang terjadi berkaitan dengan
kenakalan anak remaja kita, harus dijadikan pelajaran bersama terutama para orangtua agar lebih hati-hati dalam mengasuh dan membina anak remajanya.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian bersama berkaitan dengan kenakalan anak remaja di Kulon Progo adalah semakin meningkatnya kasus-kasus perilaku berpacaran yang kelewat batas serta terjadinya kehamilan sebelum menikah. Sekarang ini, tidak sedikit anak remaja kita yang melakukan pacaran tidak dengan sewajarnya. Mestinya masa pacaran adalah masa untuk saling mengenal watak dan kepribadian teman dekatnya selain berbagi kasih sayang serta menjajagi kemungkinan dijadikannya pasangan hidup di masa depan, tak urung sering dijadikan sebagai media untuk pelampiasan hawa nafsu dan penyaluran hasrat seks yang menggebu-gebu.
Hasil penelitian Yayasan Usamah Tahun 2005 di Kabupaten Kulon Progo menunjukkan 48 dari 557 remaja (8,8%) yang pernah dan masih pacaran mengaku pernah melakukan hubungan seksual saat pacaran. Kemudian sebanyak 61 remaja (11,2%) saling meraba tubuh pacar saat pacaran dan 92 remaja lainnya (16,9%) melakukan aktivitas peluk cium saat pacaran. Kemudian berdasarkan laporan dari Kantor Depag Kulon Progo dari jumlah pernikahan sepanjang tahun 2006 sebanyak 3.938 kali terdapat pernikahan dalam keadaan hamil sebanyak 390 atau 9,9% dari total perkawinan yang terjadi. Yang sangat mengejutkan, berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo yang merujuk pada laporan dari Puskesmas, sepanjang tahun 2006 diketahui sekitar 44% calon pengantin baru yang melakukan pp test sudah dalam keadaan hamil. Walaupun angka yang begitu tinggi kemungkinan karena banyaknya calon pengantin dari luar daerah yang ikut pp test di Puskesmas wilayah Kulon Progo, tetap saja angka itu perlu diwaspadai. Bukan tidak mungkin sebagian besar dari mereka ada para calon pengantin yang berdomisili di Kabupaten Kulon Progo.
Atas dasar itu, saya merasa bersyukur atas terbitnya buku pengayaan berjudul “Pengasuhan dan Pembinaan Tumbuh Kembang Anak Remaja” yang disusun dan dikembangkan oleh Sub Dinas KB bersama instansi/institusi terkait seperti Dinas Kesehatan, Pendidikan, TP-PKK, Polres dan Kantor Depag Kabupaten Kulon Progo. Harapan saya, buku ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi petugas dan kader pengelola kegiatan yang berkepentingan mengembangkan tumbuh kembang anak remaja untuk dapat lebih memantapkan dan meningkatkan kualitas KIE-konseling terutama masalah Keseharan Reproduksi Remaja (KRR) di masyarakat, sehingga keluarga-keluarga yang terdapat didalamnya menjadi lebih berdaya dan mampu mengantarkan anak remajanya menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas, teguh, tangguh dan tanggon serta siap untuk menghantarkan Kabupaten Kulon Progo menjadi kabupaten yang maju, berkembang dan mandiri..
Atas terbitnya buku ini saya mengucapkan banyak terima kasih pada para kontributor buku ini mulai dari para penyusun hingga editor dan penyunting buku ini. Semoga amal kebaikannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan YME. Amin
Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat.

Kepala,

Drs. Sarjana
NIP. 490 025 004
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan hidayah-Nya, penulisan buku pengayaan yang berjudul: “Pengasuhan dan Pembinaan Tumbuh Kembang Anak Remaja ” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Buku ini dibuat sebagai bahan pengayaan bagi petugas/pengelola kegiatan yang berkaitan dengan upaya optimalisasi tumbuh kembang anak remaja. Sehingga buku ini sifatnya merupakan pelengkap (komplementer) dari materi pokok tentang tumbuh kembang anak remaja yang sudah ada.
Banyak persoalan dan hambatan yang kami temui selama kami menyusun buku ini. Namun berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, semua kesulitan dan hambatan yang kami temui, dapat kami selesaikan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Ibu-ibu Pengurus Tim Penggerak PKK Kabupaten Kulon Progo, terutama Ibu Projo Kisworo yang telah memberikan sumbangan pemikiran, dorongan dan semangat pada kami untuk mewujudkan buku tentang tumbuh kembang anak sebagai karya asli dari Kulon Progo sebagai bentuk kontribusi dalam upaya optimalisasi pengasuhan dan pembinaan terhadap anak remaja.
2. Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo beserta jajarannya yang telah memberi sumbangan materi berkaitan dengan masalah tumbuh kembang anak remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhinya termasuk pemenuhan asupan gizi pada anak remaja.
3. Bapak Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo beserta jajarannya yang telah menyumbangkan materi seputar tumbuh kembang anak remaja baik dalam hal pertumbuhan fisik, perkembangan psikososial dan kepribadian, maupun perkembangan kognitifnya.
4. Bapak Ka Polres Kulon Progo beserta jajarannya yang telah memberi kontribusi materi tentang perilaku dan kebiasaan negatif remaja yang mencakup masalah minum-minuman keras, seks bebas, tindak kekerasan dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang/narkoba.
5. Bapak Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Kulon Progo beserta jajarannya yang telah membantu mengembangkan konsep tentang membangun remaja masa depan.
6. Kepala Perpustakaan Daerah Kabupaten Kulon Progo yang telah memberikan kesempatan pada kami untuk memberikan fasilitas serta meminjamkan berbagai macam buku tentang tumbuh kembang anak remaja sebagai referensi kami dalam penulisan buku ini.
7. Segenap pengurus dan kader Yayasan Usamah Kulon Progo terutama Saudara Suharna yang telah memberikan pemikiran-pemikiran kritisnya berkaitan dengan pendidikan seks remaja di Kulon Progo.
8. Teman-teman petugas/kader pengelola KB di lapangan dan lain-lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dalam bentuk foto, maupun materi/buku referensi sehingga buku ini dapat tampil lebih lengkap dan menarik untuk dibaca.
Kami menyadari sepenuhnya, buku ini tidaklah sempurna. Atas dasar itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pihak manapun demi perbaikan buku ini selanjutnya.
Akhir kata, semoga buku pengayaan ini bermanfaat.

Wates, 24 Maret 2008
Tim Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
SAMBUTAN BUPATI KULON PROGO ii
PESAN KHUSUS TP PKK KABUPATEN KULON PROGO v
SAMBUTAN KEPALA DINAS DUKCAPILKABERMAS vi
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI x

BAB I PENDAHULUAN…………………………………. 1

BAB II MEMAHAMI TUMBUH KEMBANG REMAJA
A. Pertumbuhan Fisik……………………………… 7
B. Perkembangan Psikososial/Kepribadian ……….. 13
C. Perkembangan Kognitif ………………………… 18
D. Perkembangan Moral/Budi Pekerti …………….. 22

BAB III MASALAH TUMBUH KEMBANG REMAJA
A. Gangguan pertumbuhan ………………………… 26
B. Pubertas Terlalu Dini …………………………… 28
C. Pubertas Terlambat ……………………………… 29
D. Obesitas …………………………………………. 30
E. Depresi …………………………………………… 32

BAB IV PERILAKU NEGATIF REMAJA
A. Merokok …………………………………………. 38
B. Seks Bebas ……………………………………….. 41
C. Minum-minuman Keras dan Penyalahgunaan Obat Terlarang …………………………………………. 44
D. Kenakalan Remaja ……………………………….. 50
BAB V PENANGANAN DAN PENCEGAHAN
MASALAH REMAJA
A. Keluarga dan Optimalisasi Tumbuh Kembang
Remaja …………………………………………. 57
B. Peranan Orangtua dalam Penanganan dan
Pencegahan Masalah Remaja ………………….. 59
C. Model Pengasuhan dan Pembinaan
Anak remaja …………………………………… 66

BAB VI MEMBANGUN REMAJA MASA DEPAN ………. 70

BAB V PENUTUP ………………………………………….. 81

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

Anak remaja merupakan populasi yang besar, karena sekitar seperlima penduduk dunia adalah merupakan anak remaja. Di Indonesia sendiri, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) populasi anak remaja saat ini mencapai tidak kurang dari 43,6 juta jiwa. Dengan asumsi jika total penduduk Indonesia sekarang ini sekitar 222 juta, maka proporsi anak remaja kita mencapai 19,64% dari total penduduk.
Masa remaja adalah masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini remaja seringkali dihadapkan pada ketidakpastian yang berkenaan dengan status mereka, disatu pihak mereka sudah tidak lagi diakui sebagai kanak-kanak, namun dipihak lain mereka belum dapat dikatakan dewasa karena belum mampu memenuhi tugas-tugas orang dewasa. Keadaan ini juga disebut sebagai masa yang penuh topan dan badai. Ketidakpastian ini membuat remaja menjadi salah tingkah, mereka tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi ketidakpastian itu.
Pada masa remaja, seorang anak menurut Sumarwi Astuti (2008) dituntut harus dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial mulai dari lingkungan keluarga, teman, sekolah dan masyarakat. Remaja tidak lagi bergaul di rumah atau di sekolah, tetapi remaja dituntut mampu membina hubungan yang baru dengan orang dewasa lainnya. Oleh karena itu remaja harus mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai macam individu dan situasi sosial, agar remaja dapat menyesuaikan diri ke dalam lingkungan sosial yang baru.
Dalam perkembangan psikososial, Soetjiningsih (2004) membagi masa remaja menjadi tiga bagian yaitu: (1) masa remaja awal/dini (early adolescence) umur 11 – 13 tahun; (2) masa remaja pertengahan (middle adolescence) umur 14 – 16 tahun; dan (3) masa remaja lanjut (late adolescence) umur 17 – 20 tahun. Istilah adolescence sendiri berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Menurut Hurlock (1991) adolescence memiliki arti yang mencakup kematangan fisik, mental, emosional dan sosial.
Yang perlu dimengerti dan dipahami, masing-masing tahapan memiliki ciri tersendiri, tetapi tidak memiliki batas yang jelas, karena proses tumbuh kembang berjalan secara berkesinambungan. Dalam sejarah hidup manusia, tumbuh kembang terjadi sejak intra uterin dan terus berlangsung hingga dewasa. Dalam proses mencapai dewasa inilah, anak harus melalui berbagai tahap tumbuh kembang, termasuk tahap remaja.
Tumbuh kembang remaja adalah suatu proses yang berbeda dengan masa anak. Pada masa ini terjadi perubahan psikobiologikal yang begitu pesat. Oleh karena itu pada masa transisi ini harus mendapat perhatian dari semua pihak terutama para orangtua yang hampir sehari-harinya berhubungan langsung dengan anak. Mengingat banyak permasalahan yang timbul pada masa remaja, maka para orangtua dan pihak-pihak yang berkepentingan perlu diberi pengetahuan yang memadai dalam rangka pengasuhan dan pembinaan terhadap anak remaja ini, termasuk upaya penanggulangan permasalahan yang dihadapi oleh anak remaja.
Dari seluruh masa tumbuh kembang anak, masa remaja menjadi bagian penting dan tidak dapat dikesampingkan karena turut memberikan andil dalam menentukan masa depan anak menuju dewasa yang memiliki kualitas hidup yang tinggi. Ancaman pada masa remaja ini umumnya selalu datang bertubi-tubi, khususnya di negara yang sedang berkembang. Menurut IG.N. Gde Ranuh(dalam soetjiningsih, 2004), sepanjang abad 20 lingkungan telah banyak merubah perilaku para remaja dan banyak menjurus ke perilaku resiko tinggi (risk-taking behavior) dengan segala konsekuensi akibat dari perilaku tersebut.
Salah satu bentuk perilaku resiko tinggi yang terjadi dan menjadi masalah anak pada masa remaja ini adalah perilaku yang berkaitan dengan perilaku seks para nikah. Nashori (1996) menunjukkan angka statistik tentang tentang deviasi (penyimpangan) perilaku anak remaja yang semakin besar dari tahun ke tahun terkait dengan perilaku seks para nikah. Era tahun 1970, penelitian mengenai perilaku seks para nilkah menunjukkan angka 7 – 9 persen. Dekade tahun 1980, perilaku bebas seks pra nikah meningkat menjadi 12 – 15 persen. Berikutnya tahun 1990 meningkat lagi menjadi 20 persen. Kondisi yang demikian itu, seakan ditegaskan oleh hasil penelitian Presidiem SMA Kolese De Brito pada tahun 1994 yang menyatakan bahwa 22 persen pelajar di DIY setuju hubungan seks di luar nikah.
Di era sekarang ini, Pusat Studi Kriminologi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta menemukan 26,35 persen dari 846 peristiwa pernikahan telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah di mana 50 persen di antaranya menyebabkan kehamilan. Di Kabupaten Kulon Progo sendiri berdasarkan hasil penelitian Yayasan Usamah Tahun 2005 menunjukkan bahwa 48 dari 557 remaja (8,8%) yang pernah dan masih pacaran mengaku pernah melakukan hubungan seksual saat pacaran, sebanyak 61 remaja (11,2%) saling meraba tubuh pacar dan 92 remaja lainnya (16,9%) melakukan aktivitas peluk cium saat pacaran. Kemudian berdasarkan laporan dari Kantor Depag Kulon Progo dari jumlah pernikahan sepanjang tahun 2006 sebanyak 3.938 kali terdapat pernikahan dalam keadaan hamil sebanyak 390 atau 9,9% dari total perkawinan yang terjadi. Kondisi terakhir, berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo yang merujuk pada laporan dari Puskesmas, sepanjang tahun 2007 diketahui sekitar 13,32% calon pengantin baru yang melakukan pp test sudah dalam keadaan hamil.
Ditingkat nasional, yang sangat mengejutkan, sebagaimana direlease oleh bkkbn online, sekarang ini tiap hari ada 100 remaja yang melakukan aborsi karena kehamilan di luar nikah. Jika dihitung per tahun, 36 ribu janin dibunuh oleh remaja dari rahimnya. Ini menunjukkan pergaulan seks bebas di kalangan remaja Indonesia saat ini, sangatlah memprihatinkan.
Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari, psikiater, pengaruh gaya hidup barat sebagai penyebab utama para remaja mengabaikan nilai-nilai moral. Mereka menganggap seks bebas sebagai sesuatu yang wajar. Padahal agama melarang keras seks bebas. Menurut Prof. Dadang, namanya saja perzinahan, mendekatinya saja tidak boleh, apalagi melakukannya. Ini membuktikan, remaja sekarang ini sangat rentan terkena pengaruh dampak buruk informasi seks yang tidak mendidik dan tidak sesuai kaidah agama.
Menurut hasil penelitian Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI pada tahun 1990 terhadap siswa siswi di Jakarta dan Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan senggama adalah: membaca buku porno dan menonton film biru (54,39% di Jakarta dan 49,2% di Yogyakarta). Motivasi utama melakukan senggama adalah suka sama suka (76% di Jakarta dan 75,6% di Yogyakarta), Kebutuhan biologik 14 – 18% dan merasa kurang taat pada nilai agama antara 20 – 26%.
Permasalahan di atas hanyalah sekedar contoh dari sejumlah masalah yang dihadapi oleh anak remaja kita. Karena bila diteliti lebih jauh, tidak sedikit dari remaja kita yang terlibat perilaku negatif lainnya seperti minum-minuman keras, merokok, mencuri, menipu, berkelahi dan tindak kekerasan lainnya serta penyalahgunaan obat-obatan terlarang/narkoba. Hal yang terakhir, dampaknya sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan remaja itu sendiri. Sementara Soetjiningsih (2004) membagi permasalahan remaja menjadi tujuh kategori, yaitu: (1) terganggunya nutrisi, (2) penggunaan obat terlarang, (3) terganggunya kesehatan jiwa, (4) masalah kesehatan gigi, (5) penyakit yang terkait dengan lingkungan bersih, (6) gangguan kesehatan karena hubungan seks, dan (7) trauma fisik dan psikis karena sebagai korban kekerasan.
Apapun klasifikasi, bentuk dan jenisnya, permasalahan remaja harus ditangani serius serta dicarikan solusi upaya pencegahannya. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari dampak yang semakin meluas yang dapat mengancam ketahanan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara mengingat remaja adalah generasi penerus di masa depan. Untuk itu diperlukan formulasi penanganan dan upaya pencegahan masalah remaja secara tepat dan berkesinambungan, agar persoalannya tidak semakin akut. Di sini keluarga sebagai tempat bernaung dan berlindung bagi seluruh anggota keluarga termasuk anak remaja, memiliki peran dan kedudukan yang strategis dalam ikut serta menangani persoalan yang dihadapi para remaja, paling tidak untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya.
Dengan mengetahui karakteristik tumbuh kembang remaja diharapkan para orangtua dapat memahami apa yang terjadi pada anak remajanya sehingga dapat memberikan pola pengasuhan dan pembinaan serta pelayanan yang tepat bagi anak remajanya. Dengan pola pembinaan, pengasuhan dan pelayanan yang tepat tentu akan memberikan pengaruh positif pada anak remaja dalam rangka menemukan dirinya sendiri, membentuk identitas diri serta membangun dirinya menjadi remaja yang sehat, cerdas, trampil, berkepribadian, berbudi pekerti luhur serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak diberlakukannya Undang-undang No 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera dan Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera telah memberikan perhatian lebih pada anak dan remaja. Bukan saja pada karakteristik tumbuh kembangnya, tetapi juga pada upaya pemecahan masalah dan pengasuhan serta pembinaan melalui mediasi orangtua atau anggota keluarga lainnya (bibi, paman, kakek, nenek, dan sebagainya yang tinggal satu rumah dengan anak remaja).
Perhatian BKKBN terhadap tumbuh kembang remaja berikut persoalannya didasarkan pada suatu pemahaman bahwa kesejahteraan keluarga tidak hanya ditandai oleh kecukupan materi atau hal-hal lain yang bersifat fisik, namun sudah mengarah pada hal-hal yang bersifat non fisik (ketahanan keluarga). Salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan keluarga ini adalah kepedulian dan kemampuan keluarga khususnya orangtua dalam memberikan layanan terhadap tumbuh kembang remaja hingga berlangsung secara optimal. Sehubungan dengan itu, BKKBN telah membentuk wadah kegiatan yang dinamakan dengan Bina Keluarga Anak dan Remaja (BKR) yang umumnya berbasis di tingkat dusun.
Kelompok BKR memiliki sasaran binaan keluarga yang memiliki anak usia sekolah dan remaja. Mereka biasanya menghadapi masalah dalam mempersiapkan anaknya menjadi manusia dewasa. Kegiatan BKR bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan orangtua dalam membina anak remaja agar dapat mencapai kedewasaan baik secara fisik, mental sosial dan ekonomi agar lebih siap mandiri. Bentuk kegiatan adalah penyuluhan kelompok yang dilakukan oleh kader kepada orangtua yang mempunyai anak usia sekolah dan remaja.
Materi penyuluhan disesuaikan dengan usia anak, yaitu kelompok orangtua yang mempunyai anak usia 6 – 13 tahun dan atau 14 – 21 tahun. Materinya meliputi tumbuh kembang anak remaja, Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), pola asuh orangtua terhadap anak remaja dan interaksi orangtua dengan anak remaja.
Jumlah kelompok BKR yang menjadi binaan Subdin KB Dinas Kependudukan Catatan Sipil Keluarga Berencana dan Pemeberdayaan Masyarakat (Dukcapilkabermas) Kabupaten Kulon Progo sekarang ini ada 96 kelompok yang tersebar di 12 kecamatan. Sebarannya adalah sebagai berikut: Kecamatan Temon 15 kelompok, Kecamatan Wates 8 kelompok, Kecamatan Panjatan 13 kelompok, Kecamatan Galur 4 kelompok, Kecamatan Lendah 7 kelompok, Kecamatan Sentolo 12 kelompok, Kecamatan Pengasih 7 kelompok, Kecamatan Kokap 4 kelompok, Kecamatan Girimulyo 4 kelompok, Kecamatan Nanggulan 6 kelompok, Kecamatan Kalibawang 7 kelompok dan Kecamatan Samigaluh 7 kelompok.
Ke depan, kelompok BKR ini diharapkan menjadi salah satu yang efektif untuk menangani dan memecahkan sejumlah persoalan yang dihadapi anak dan remaja melalui jalur keluarga. Disini kesadaran dan kepedulian orangtua maupun anggota keluarga lainnya yang diiringi dengan keluasan wawasan dan pengetahuan tentang anak remaja menjadi kunci pokok berhasil tidaknya orangtua menghantarkan anak remajanya menuju ke kedewasaan yang ideal. Hal ini mengingat peran mereka yang begitu vital serta lamanya waktu yang dihabiskan anak remaja di dalam lingkungan keluarga.

BAB II
MEMAHAMI TUMBUH KEMBANG REMAJA

A. Pertumbuhan Fisik
Yang dimaksud dengan pertumbuhan fisik adalah pertumbuhan yang lebih menekankan pada aspek perubahan fisik ke arah yang lebih maju. Dengan kata lain pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif dan kontinue serta berlangsung dalam periode tertentu. Oleh karena itu sebagai hasil dari pertumbuhan adalah bertambahnya berat, panjang atau tinggi badan, tulang dan otot-otot menjadi lebih kuat, lingkar tubuh menjadi lebih besar dan organ tubuh menjadi lebih sempurna.
Soetjiningsih (2004) memberikan istilah pertumbuhan fisik ini sebagai pertumbuhan somatik. Somatik berasal dari kata somatisch artinya mengenai jasad. Lawan katanya adalah psychish (mengenai jiwa). Somatologia adalah ilmu pengetahuan tentang sifat-sifat umum badan (jasad).
Pertumbuhan fisik pada anak remaja menunjukkan empat karakteristik dasar, yaitu:
1. Perubahan adalah ciri utama dari proses biologis
2. Perubahan fisik sangat bervariasi dalam umur saat mulai dan berakhirnya
3. Setiap remaja memiliki urutan yang sama dalam pertumbuhan fisiknya
4. Timbulnya ciri-ciri seks sekunder
Beberapa perubahan yang paling menonjol dari pertumbuhan remaja adalah dari perubahan panjang dan tinggi organ-organ fisik remaja yang diikuti dengan mulai berfungsinya alat-alat reproduksi pada remaja baik alat-alat reproduksi primer (alat yang terkait langsung dengan sistem reproduksi) maupun alat-alat reproduksi sekunder (alat yang tidak terkait dengan sistem reprodusi secara langsung).
Awal pertumbuhan remaja biasanya berkisar sekitar usia 11 – 13 tahun pada remaja putri dan usia 12 – 15 tahun pada remaja putra. Pada remaja putri pertumbuhan dan perkembangan usia remaja ditandai dengan adanya haid pertama (menarche) dan pada remaja putra juga diawali dengan terjadinya mimpi basah yang pertama, kedua hal tersebut disebabkan oleh adanya hormon seksual yakni semacam kelenjar endokrin (endo = dalam) yang masuk ke dalam sel-sel darah kemudian beredar ke seluruh tubuh sehingga mempengaruhi sistem hormonal pada kelenjar otak yang mendorong remaja pada hasrat seksualitas.
Sebelum mulai pacu tumbuh, remaja perempuan tumbuh dengan kecepatan 5,5 cm/tahun. Sekitar 2 tahun setelah mulainya pacu tumbuh, kecepatannya sekitar 8 cm/tahun. Kecepatan maksimal dicapai 6-12 bulan sebelum haid pertama dan ini hanya bertahan dalam waktu beberapa bulan, setelah itu pertumbuhannya akan mengalami deselerasi untuk dua tahun berikutnya.
Sementara pada laki-laki, sebelum mulai pacu tumbuh, kecepatan pertumbuhan linier sekitar 5 cm per tahun. Pertumbuhan ini berlangsung terus sekitar 2 tahun, di mana saat itu remaja perempuan telah mengalami pacu tumbuh. Kemudian saat remaja perempuan seusianya telah mengalami deselerasi, justru pada remaja laki-laki mulai terjadi akselerasi pertumbuhan hingga mencapai lebih dari 9 cm/tahun. Rata-rata puncak kecepatan tinggi badan (peak height velocity/PHV) pada remaja laki-laki yang matur awal lebih dari 10 cm/tahun, sedangkan PHV pada remaja yang matur lambar sekitar 8,5 cm/tahun
Selanjutnya secara fisiologis Muss (dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 2006) membuat urutan perubahan-perubahan fisik pada anak remaja laki-laki dan perempuan sebagai berikut.
1. Perubahan Fisik pada Laki-laki:
a. Pertumbuhan tulang-tulang
b. Testis (buah pelir) membesar
c. Tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus dan berwarna gelap
d. Awal perubahan suara
e. Ejakulasi (keluarnya air mani)
f. Bulu kemaluan menjadi keriting
g. Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimal setiap tahunnya
h. Tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot)
i. Tumbuh bulu ketiak
j. Akhir perubahan suara
k. Rambut-rambut di wajah bertambah tebal dan gelap
l. Tumbuh bulu di dada
Adapun bentuk perubahan fisik pada anak laki-laki dapat dilihat pada gambar 1.

Sumber: Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 60

2. Perubahan Fisik pada Perempuan:
a. Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang)
b. Pertumbuhan payudara
c. Tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan
d. Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya
e. Bulu Kemaluan menjadi keriting
f. Haid
g. Tumbuh bulu-bulu ketiak
Adapun bentuk perubahan fisik pada anak perempuan dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2: Perubahan Fisik pada Anak Perempuan

Sumber: Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 60

Dalam masa pertumbuhan, terlihat jelas adanya perbedaan fisiologis antara pria dan wanita, dimana penonjolan-penonjolan fisik yang terjadi akan semakin memperlihatkan karakteristik yang khas antara pria dan wanita. Terutama karena bertambahnya jaringan pengikat di bawah kulit terutama pada dada, lengan, pantat, dan paha. Karena perubahan itu mereka mendapatkan bentuk khas wanita dan pria. Wanita mencapainya lebih dahulu, selanjutnya pria segera menyusul, bahkan melebihi. Anggota tubuh (tangan dan kaki) lebih cepat mengalami pertumbuhan sehingga proporsinya nampak tak seimbang.
Beberapa faktor jelas akan mempengaruhi kualitas pertumbuhan pada remaja, hal ini penting diketahui guna menunjang peningkatan kualitas remaja baik secara fisik maupun non fisik. Secara fisik beberapa faktor dikemukakan oleh Mohammad Ali dan Mohammmad Asrori (2002,) dalam dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan individu, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu. Termasuk ke dalam faktor internal ini adalah sebagai berikut:
a. Sifat jasmaniah yang diwariskan dari orang tuanya
Anak yang ayah dan ibunya bertubuh tinggi cenderung lebih lekas menjadi tinggi daripada anak yang berasal dari orang tua yang bertubuh pendek.
b. Kematangan
Secara sepintas, pertumbuhan fisik seolah-olah seperti sudah direncanakan oleh faktor kematangan. Meskipun anak itu diberi makanan yang bergizi tinggi tetapi kalau saat kematangan belum sampai, pertumbuhan akan tertunda. Misalnya, anak berumur tiga bulan diberi makanan yang cukup bergizi supaya pertumbuhan otot kakinya berkembang sehingga mampu untuk berjalan. Ini tidak mungkin berhasil sebelum mencapai umur lebih dari sepuluh bulan.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah ialah faktor yang berasal dari luar diri anak. Termasuk ke dalam faktor eksternal adalah sebagai berikut:
a. Kesehatan
Anak yang sering sakit-sakitan pertumbuhan fisiknya akan terhambat.
b. Makanan
Anak yang kurang gizi pertumbuhannya akan terhambat sebaliknya yang cukup gizi pertumbuhannya pesat.
c. Stimulasi Lingkungan
Individu yang tubuhnya sering dilatih untuk meningkatkan percepatan pertumbuhannya akan berbeda dengan tidak pernah mendapat latihan.
Beberapa hal yang perlu diketahui adalah bahwa dalam meningkatkan kualitas pertumbuhan remaja dari aspek fisik adalah perlunya peningkatan derajat kesehatan pada anak remaja dengan pengaturan pola makanan, olahraga yang cukup, istirahat yang cukup serta pola perilaku hidup sehat lainnya.
Pola makanan yang baik adalah terpenuhinya kecukupan remaja baik dari segi kualitas mamupun kuantitasnya, dari segi kualitas adalah adanya aspek empat sehat lima sempurna yakni sumber karbohidrat (beras, gandum, jagung, sagu, dan lain-lain), sumber protein atau lauk pauk (kedelai, kacang, ikan, telur dll) sumber sayur mayur (bayam, kangkung, sawi, dan singkong, daun pepaya, dll) serta buah-buahan (apel, jeruk, pepaya, pisang, dll) sebagai sumber vitamin yang dilengkapi dengan minum susu.
Dari segi kuantitas, pola makan yang baik adalah tercukupinya jumlah kalori serta keragaman jenis makanan untuk memenuhi kebutuhan sumber makanan pada remaja. Pada masa ini remaja memang memerlukan sejumlah makanan yang cukup banyak guna menunjang pertumbuhan dan aktivitas remaja yang meningkat pesat (semego = Jawa). Selain jumlah yang cukup banyak remaja juga memerlukan beragam jenis makanan untuk mendapatkan berbagai macam jenis zat gizi, vitamin, dan mineral untuk mendukung kualitas fisik seorang remaja yang dapat dilihat kondisinya melalui Kartu Menuju Sehat (KMS) Remaja yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI.
Kebiasaan makan semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan anemia dan keletihan, kondisi yang menyebabkan mereka tidak mampu belajar secara optimal. Remaja memerlukan lebih banyak zat besi dan remaja perempuan membutuhkan lebih banyak lagi zat besi untuk mengganti zat besi yang hilang bersama darah haid. Dampak negatif kekurangan mineral sering tidak kelihatan sebelum mencapai usia dewasa. Sebagai gambaran, kalsium sangat penting dalam pembentukan tulang pada usia remaja. Kekurangan kalsium selagi muda merupakan penyebab osteoporosis di usia lanjut, dan keadaan ini tidak dapat ditanggulangi dengan meningkatkan konsumsi zat ini ketika penyakit mulai tampak.
Dalam upaya peningkatan fisik selanjutnya adalah perlunya olah raga untuk meningkatkan kekuatan (power) kelincahan (speed) dan daya tahan (indurance) tubuh remaja. Berbagai jenis olah raga seperti senam, sepakbola, basket, dan volley dan bermacam jenis beladiri sangat penting bagi pertumbuhan seorang remaja secara prima dalam melakukan berbagai aktivitas. Selain kualitas bentuk olah raga bagi remaja hal yang tak kalah penting adalah kontinuitas agar kondisi fisik yang prima bisa tetap stabil dan terjaga setiap hari.
Hal ketiga yang perlu dijaga oleh remaja dalam peningkatan pertumbuhan fisik adalah perlunya istirahat yang cukup. Jumlah istirahat yang optimal bagi remaja adalah kurang lebih 8 jam. Hal ini penting karena pada saat istirahat inilah akan terjadi optimalisasi penyerapan zat-zat gizi serta sinkronisasi sistem tubuh secara optimal, sehingga remaja harus selalu menjaga kualitas istirahat dengan cara tidak sering begadang (tidur terlalu malam) atau bahkan juga jangan terlalu sering tidur (bermalas-malasan). Karena keduanya justru tidak baik bagi pertumbuhan fisik remaja.
Faktor selanjutnya dalam mendukung pertumbuhan fisik remaja adalah perilaku hidup sehat, hal ini terkait dengan perilaku dunia remaja, namun untuk masalah ini akan dibahas pada bab selanjutnya di antaranya adalah masalah perilaku seks, merokok, narkoba, dan lain-lain.

B. Perkembangan Psikologis
Memasuki masa remaja yang diawali dengan terjadinya kematangan seksual, maka remaja akan dihadapkan pada keadaan yang memerlukan penyesuaian untuk dapat menerima perubahan-perubahan yang terjadi. Kematangan seksual dan terjadinya perubahan bentuk tubuh akan sangat berpengaruh pada kehidupan kejiwaan remaja. Datangnya menarche misalnya, dapat menimbulkan reaksi yang positif maupun negatif bagi remaja perempuan. Apabila sang remaja sudah mendapat informasi cukup tentang akan datangnya menstruasi maka mereka tidak akan mengalami kecemasan dan reaksi negatif lainnya. Tetapi apabila mereka kurang memperoleh informasi maka mereka akan mengalami pengalaman yang negatif. Kematangan seksual yang terlalu cepat atau lambat juga dapat mempengaruhi perkembangan psikologisnya
Perkembangan psikologis adalah suatu perkembangan pada diri manusia yang berkaitan dengan aspek kejiwaan terkait di dalamnya adalah aspek emosi, mental, kemauan dan keadaan moral seperti dikemukakan oleh Sri Rumini, dkk (1993) disimpulkan bahwa perkembangan psikologis adalah suatu proses perubahan yang progresif berdasarkan pertumbuhan kematangan dan belajar atau pengalaman dengan cara mengaktualisasi diri secara memuaskan.
Proses perkembangan psikologis manusia merupakan suatu kodrat alam manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai peradaban dengan kemampuan berfikir dan berbudaya, dalam proses ini terdapat perbedaan manusia dengan makhluk hidup lainnya bahkan makhluk mamalia sejenis seperti kera, simpanse, gorilla dan orang hutan. Manusia berkembang secara psikologis tidak hanya berdasarkan naluri atau instingnya saja, tetapi manusia berkembang melalui melalui proses belajar dan tumbuh dalam intelektualitas yang terus berkembang.
Perkembangan remaja secara psikologis merupakan suatu perubahan karakter dari masa anak-anak menuju pada era kedewasaan. Pribadi yang tumbuh pada masa remaja ini menurut Stanley Hall disebut sebagai storm dan stess atau badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosi remaja awal dilanda pergolakan, sehingga selalu mengalami perubahan dalam perbuatannya, dalam mengerjakan sesuatu, misalnya belajar mula-mula bergairah dan tiba-tiba jadi enggan, malas.
Pada masa remaja, menurut Soetjiningsih (2004), anak remaja akan dihadapkan pada dua tugas utama, yaitu: Pertama, mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orangtua; Kedua, membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri dan kematangan pribadi. Selain itu, masih ada 8 tugas perkembangan lain pada masa remaja, yaitu:
1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa
2. Memperoleh peranan sosial
3. Menerima keadaan tubuhnya dan menggunakannya secara efektif
4. Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua
5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
6. Memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan
7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga
8. Mengembangkan dan membentuk konsep-konsep moral.
Perkembangan psikologis pada masa remaja yang merupakan masa transisi dari periode anak ke dewasa menurut G.W. Allport (dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 2006) menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pemekaran diri sendiri (extension of the self) yang ditandai dengan kemampuan seorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari diri sendiri juga. Perasaan egoisme (mementingkan diri sendiri) berkurang sebaliknya tumbuh perasaan ikut memiliki, salah satu tanda yang khas adalah tumbuhnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya. Kemampuan untuk bertenggang rasa dengan orang yang dicintainya untuk ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh orang yang dicintainya, menunjukkan adanya tanda-tanda kepribadian dewasa (mature personality) ciri lain adalah berkembangnya ego ideal berupa cita-cita, idola dan sebagainya yang menggambarkan wujud ego (diri sendiri) di masa depan.
2. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara obyektif (self objectivication) ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight) dan kemampuan untuk menangkap humor (sense of humor) terrmasuk yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran.ia tidak marah jika dikritik pada saaat-saat yang yang diperlukan ia dapat melepaskan diri dari dirinya sendiri dan meninjau dirinya sendiri sebagai orang luar.

3. Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life).
Hal itu dapat dilakukan tanpa perlu merumuskannnya dan mengucapkankannya dalam kata-kata. Orang yang sudah dewasa tahu dengan tepat tempatnya dalam rangka susunan objek-objek lain di dunia. Ia tahu kedudukannnya dalam masyarakat., ia paham bagaimana seharusnya ia bertingkah laku dalam kedudukan tersebut. Dan ia berusaha mencari jalannya sendiri menuju sasaran yang ia tetapkan sendiri. Orang seperti ini tidak lagi mudah terpengaruh dan pendapatnya serta sikap-sikapnya cukup jelas dan tegas.
Dari berbagai karakter dan ciri-ciri psikologis remaja tadi, satu hal yang paling menonjol dari seorang remaja adalah adanya konsep sikap yang egois sebagai wujud perkembangan berpikir dan bersikap dalam memperjuangkan kemandirian sikap (the strike of autonomy). Dari konsep ini maka seringkali perilaku remaja sering menunjukkan sikap-sikap kritis dan berlawanan dengan perilaku orang tua, keluarga, dan masyarakat sekitarnya.
Proses penemuan jati diri dan kepribadian seorang remaja sangat tergantung dengan faktor-faktor eksternal terutama dari pergaulan antar teman. Perasaan empati pada persahabatan pada diri remaja jauh lebih kuat daripada dengan keluarga bahkan orang tua sekalipun. Adanya sikap penerimaan, interaksi dan perasaan kepribadian antar remaja lebih banyak berpengaruh pada pola pikir, sikap dan perilaku remaja sehingga interaksi antar teman ini jelas paling mudah membentuk karakter remaja yang cenderung masih inklusif dan sangat labil.
Pergaulan antar teman yang positif biasanya cenderung juga akan membentuk watak dan karakter remaja yang positive pula, namun pergaulan antar teman yang negatif juga akan jauh lebih mudah untuk membentuk watak dan karakter remaja yang negative pula. Sikap eksplorative remaja yang cenderung sangat ambisius membuat remaja selalu bergolak dengan kehidupan dan lingkungannya. Tindakan-tindakan yang bersifat petualangan dan penelitian-penelitian membuat remaja selalu ingin mencoba dan mencari pengalaman-pengalaman baru walau kadangkala eksplorasi yang dilakukan bersifat negative seperti perilaku merokok, narkoba, minum-minuman keras dan petualangan cinta.
Kaitannnya dengan cinta, perkembangan emosi dan perasaan remaja sudah mulai tumbuh seiring dengan pertumbuhan fisik dan kematangan sistem reproduksi. Pada masa transisi ini remaja sudah memahami dirinya atas dasar jenis kelamin dan juga tahu akan keberadaan lawan jenisnya, sehingga seorang remaja juga sudah mulai bisa menentukan teman intimnya (pacar). Gejolak perasaan yang ada sangat terpengaruh oleh produksi hormon yang mengalir dalam darah muda seorang remaja, sehingga remaja cenderung mudah terangsang oleh impuls-impuls cinta.
Adanya gejolak perasaan dan sikap eksploratif remaja inilah yang kadang dengan sangat mudahnya mempengaruhi remaja dalam mencapai petualangan-petualangan cinta yang baru, mereka saling mencurahkan perasaan kemudian pacaran hingga pada eksplorasi yang semakin jauh. Efek negative dari sikap remaja ini adalah adanya penyalahgunaan napza dan penyalahgunaan alat kelamin yang jelas akan merusak fisik dan mental remaja.
Dari awal hanya sekedar coba-coba, pacaran, pegang tangan, bersentuhan yang kemudian berlanjut pada istilah KNPI (kissing, necking, petting dan intercause) dengan sistem mekanisme kontrol emosi dan perasaan remaja yamg masih lemah serta pola pikir dan intelektualitas yang rendah remaja banyak terjebak pada perilaku free sex yang berbahaya khususnya bagi remaja putri.
Beberapa hal yang perlu menjadi benteng bagi remaja dalam mengisi masa muda agar mengarah pada pembentukan sikap dan karakter yang positif dan kondusif. Perlu adanya kegiatan–kegiatan positif lain seperti kegiatan sosial, olah raga, kegiatan ilmiah dan keagamaan. Kontrol yang paling penting dari keluarga dan lingkungan bukanlah pengekangan namun dorongan dan motivasi secara positif agar remaja tidak merasa terkekang namun tetap merasa diperhatikan.
Kegiatan olah raga sangat positif bagi remaja untuk mengalihkan produksi hormon pada kegiatan fisik dan rekreatif, serta mengurangi waktu dan pikiran remaja agar jangan terinduksi pada kegiatan dan pikiran-pikiran negative. Bahkan olah raga justru secara sistematis mampu merangsang otak pada perilaku yang positif pada sikap-sikap sportif, fairplay, kerjasama dan nilai-nilai kemanusiannya lainnya.
Kegiatan sosial keagamaan akan menumbuhkan sikap empati dan kepedulian sosial pada sesama dan lingkungan dengan tumbuhnya cinta pada kelestarian alam/bumi, patriotisme dan cinta tanah air. Sikap religius juga sangat penting dalam membentengi remaja secara moral terhadap perilaku-perilaku negatif yang merupakan nilai pribadi (value of interest) dari dirinya sendiri untuk menjauhi perbuatan-perbuatan amoral dan tercela.

C. Perkembangan Kepribadian
Istilah kepribadian (personality) menurut Alex Sobur (2003) berasal dari kata Latin “persona”. Pada mulanya, kata persona ini menunjuk pada topeng yang biasa digunakan oleh pemain sandiwara di zaman Romawi dalam memainkan peranan-peranannya. Lambat laun, kata persona berubah menjadi satu istilah yang mengacu pada gambaran sosial tertentu yang diterima oleh individu dari kelompok atau masyarakatnya, kemudian individu tersebut diharapkan bertingkah laku berdasarkan atau sesuai dengan gambaran sosial (peran) yang diterimanya.
Allport (1971) mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi-organisasi dinamis dari sistem-sistem psikofisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik/khas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan demikian kepribadian memiliki beberapa unsure sebagai berikut:
1. Kepribadian itu merupakan organisasi yang dinamis. Dengan kata lain, ia tidak statis, tetapi senantiasa berubah setiap saat.
2. Organisasi tersebut terdapat dalam diri individu. Jadi tidak meliputi hal-hal yang berada di luar diri individu.
3. Organisasi itu berdiri atas sistem psikis, yang menurut Allport meliputi antara lain, sifat dan bakat, serta sistem fisik (anggota dan organ-organ tubuh) yang saling terkait.
4. Organisasi itu menentukan corak penyesuaian diri yang unit dari tiap individu terhadap lingkungannya.
Dalam bahasa populer, istilah kepribadian juga berarti ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten, yang memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus. Jika dalam bahasa sehari-hari kita anggap bahwa seseorang mempunyai kepribadian, yang kita maksudkan ialah orang tersebut mempunyai beberapa ciri watak yang diperlihatkannya secara lahir, konsisten, dan konsekuen dalam tingkah lakunya. Sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu lainnya.
Carl Gustav Jung (dalam Alex Sobur, 2003) mengatakan bahwa pertumbuhan pribadi merupakan suatu dinamika dan proses evolusi yang terjadi sepanjang hidup. Individu secara kontinyu berkembang dan belajar ketrampilan baru serta bergerak menuju realisasi diri.
Pada hakikatnya, kepribadian dapat dikatakan mencakup semua aspek perkembangan, seperti perkembangan fisik, motorik, mental, sosial, dan sebagainya. Jadi kepribadian merupakan satu kesatuan aspek jiwa dan badan, yang menyebabkan adanya kesatuan dalam tingkah laku dan tindakan seseorang. Ini disebut integrasi, yakni integrasi dari pola-pola kepribadian yang dibentuk oleh seseorang. Dan pembentukan pola kepribadian ini terjadi melalui proses interaksi dalam dirinya sendiri, dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan luar.
Teori psikoanalis (dalam Koswara, 1991) menyatakan bahwa perkembangan kepribadian seseorang berlandaskan pada dua premis. Pertama, premis bahwa kepribadian individu dibentuk oleh berbagai jenis pengalaman masa kanak-kanak awal. Kedua, energi seksual (libido) ada sejak lahir, dan kemudian berkembang melalui serangkaian tahapan psikoseksual yang bersumber pada proses-proses naluriah organisme.
Freud (dalam Alex Sobur, 2003) menegaskan bahwa pada manusia terdapat empat fase atau tahapan perkembangan psikoseksual yang kesemuanya menentukan pembentukan kepribadian, dan masing-masing fase berkaitan dengan daerah erogen tertentu. Yang dimaksud daerah erogen adalah bagian tubuh tertentu yang peka dan bisa mendatangkan kenikmatan seksual apabila dikenai rangsangan. Daerah-daerah erogen itu adalah mulut atau bibir (oral), alat pembuangan atau dubur (anal), dan alat kelamin (genital). Adapun fase perkembangan psikoseksual adalah fase oral, fase anal, fase falik, dan fase genital. Pengalaman individu pada masing-masing fase meninggalkan sejumlah bekas yang permanen, berupa sikap, sifat, dan nilai yang khas.
Pada dasarnya, setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda satu sama lain. Penelitian mengenai kepribadian manusia sudah dilakukan para ahli sejak dahulu kala. Hipprocrates dan Galenus (400 SM dan 175 SM) mengemukakan bahwa kepribadian manusia menjadi empat golongan menurut keadaan zat cair yang ada dalam tubuhnya.
Pertama, melancholicus (melankolisi), yaitu orang-orang yang banyak empedu hitamnya, sehingga orang-orang dengan tipe ini selalu bersikap murung atau muram, pesimistis, dan selalu menaruh curiga.
Kedua, Sanguinicus (sanguinisi), yaitu orang-orang yang banyak darahnya, sehingga orang-orang tipe ini selalu menunjukkan wajah yang berseri-seri, periang atau selalu gembira, dan bersikap optimistis.
Ketiga, Flegmaticus (flegmatisi), yaitu orang-orang yang banyak lendirnya. Orang tipe ini sifatnya lamban dan pemalas, wajahnya selalu pucat, pesimis, pembawaannya tenang, pendiriannya tidak mudah berubah.
Keempat, Cholericus (kolerisi), yakni orang yang banyak empedu kuningnya. Orang tipe ini bertubuh besar dan kuat, namun penaik darah dan sukar mengendalikan diri, sifatnya garang dan agresif.

D. Perkembangan Kognitif

Menurut Retno IG Kusuma (dalam Soetjiningsih, 2004) istilah kognitif dalam konteks ilmu psikologi sering didefinisikan secara luas mengenai kemampuan berpikir dan mengamati, suatu perilaku yang mengakibatkan seseorang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk mengembangkan pengertian. Dengan kata lain, merupakan cara berpikir tentang sesuatu dan cara mengetahui sesuatu.
Perkembangan kognitif terkait erat dengan masalah intelektualitas dan intelegensi, yakni perkembangan yang terkait dengan kemampuan berfikir manusia di antaranya proses logika, analisis, dan proses berfikir lainnya. Berdasarkan uraian dari beberapa ahli disimpulkan oleh Muhammad Ali dan Muhammad Asrori (2002) bahwa pengertian intelek tidak berbeda dengan pengertian intelegensia yang memiliki arti kemampuan untuk melakukan abstraksi, serta berfikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru.
Sri Rumini dkk (1993) menganggap bahwa aspek kognitif dapat disamaartikan dengan aspek penalaran. Aspek penalaran (kogntif) ini secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Mengetahui, yaitu mengenali kembali hal-hal yang umum dan khas,
mengenali kembali metode dan proses, mengenali kembali pola, struktur dan perangkat.
2. Mengerti, dapat diartikan sebagai memahami
3. Mengaplikasikan, merupakan kemampuan menggunakan abastraksi di
dalam situasi-situasi konkrit.
4. Menganalisis, adalah menjabarkan sesuatu ke dalam unsur-unsur, bagian-bagian atau komponen-komponen sedemikian rupa, sehingga tampak jelas susunan atau hierarki gagasan yang ada di dalamnya, atau tampak jelas hubungan antara berbagai gagasan yang dinyatakan dalam sesuatu komunikasi.
5. Mensintesiskan, merupakan kemampuan untuk menyatukan unsur-unsur atau bagian-bagian sedemikian rupa sehingga membentuk suatu keseluruhan yang utuh.
6. Mengevaluasi, merupakan kemampuan untuk menerapkan nilai atau harga dari suatu bahan dan metode komunikasi untuk tujuan-tujuan tertentu
Dari ciri-ciri di atas mungkin bisa ditambah lagi dengan kemampuan logika yang berpikir dari kondisi-konsisi abstrak diuraikan pada dasar-dasar logis atau kajian ilmiah sehingga sesuatu yang abstrak tadi menjadi suatu kerangka pikiran yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya pada sejumlah data, bukti dan fakta yang riil dan ilmiah.
Di dalam perkembangan kognitif ini prinsip berfikir sangat adaptif dengan perubahan dan perkembangan dari faktor eksternal seperti keluarga, lingkungan dan masyarakat yang terkait dengan manusia tinggal. Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget seorang ahli psikologi dari Swiss (dalam Soetjiningsih, 2004) dibagi dalam beberapa stadium:
1. Stadium Sensori-Motorik ( 0 – 18 bulan)
Pada tahap ini perkembangan intelegensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi motorik. Gerakan-gerakan refleks seperti menghisap, meraih, menggenggam, menggoyang-goyangkan badan, gerakan seperti memukul dan menendang sesuatu merupakan tahap pertama yang akan membawa anak ke arah pengusaan pengetahuan mengenai dunia luar. Gerakan refleks ini selanjutnya akan berkembang lagi menjadi gerakan-gerakan yang lebih canggih (misalnya berjalan).
2. Stadium Pra-Operasional ( 18 bulan – 7 tahun )
Stadium ini dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis (mampu bermain pura-pura misalnya korek api yang dibayangkan sebagai mobil), imitasi tingkah laku (meniru tingkah laku ibu atau ayahnya) maupun bayangan dalam mental.
Ciri yang jelas pada stadium para-operasional adalah centralized atau memusat, artinya anak hanya mampu memusatkan perhatian pada satu dimensi saja, tidak dapat dibalik (irreversible) karena belum memahami sebab akibat.
3. Stadium Operasional Konkrit (7 – 11 tahun)
Stadium operasional konkrit dapat digambarkan sebagai penyempurnaan kekurangan stadium pra operasional. Pada fase ini egosentris berpikir sudah mulai menghilang. Anak mampu melakukan desentrasi, yaitu mampu memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan mampu menghubungkan dimensi-dimensi tersebut.
Namun demikian, pada tahap ini anak baru mampu melakukan aktivitas logis dalam situasi yang konkrit. Apabila dia dihadapkan suatu masalah secara verbal ataupun abstrak yaitu tanpa adanya bahan yang konkrit, maka dia belum mampu menyelesaikannya dengan baik. Hal ini terkait dengan tiga macam operasi berpikir yang baru dapat dikembang oleh anak pada rentang usia ini, yaitu:
a. Identitas : mengenali sesuatu
b. Negasi : mengingkari sesuatu
c. Resiprokasi : mencari hubungan timbale balik antara beberapa hal.
4. Stadium Operasional Formal (mulai umur 11 tahun)
Kemampuan berpikir pada stadium ini ditandai dengan dua sifat penting yaitu:
a. Kemampuan Deduktif-Hipotesis
Bila anak dihadapkan pada suatu masalah yang harus diselesaikannya, maka ia akan memikirkan dulu secara teoritis, menganalisa masalahnya dengan mengembangkan penyelesaian melalui berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisis ini, ia akan membuat strategi penyelesaian.
b. Bersifat Kombinatoris
Berhubungan dengan cara bagaimana melakukan analisisnya, maka sifat kombinatoris menjadi pelengkap cara berpikir operasional formal. Ini hampir menyerupai tahap trial and error pada stadium sensoris-motorik. Tetapi langkah coba-coba pada stadium operasional formal memiliki dasar teoritis dan hipotesis yang pasti.
Keating (dalam Soetjiningsih, 2004) berpendapat ada 5 karakteristik cara berpikir pada stadium operasional formal yang membedakan dengan stadium sebelumnya, yaitu:
a. Mampu berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan, baik yang telah terjadi maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
b. Berpikir dengan hipotesis
c. Berpikir jauh ke depan, membuat rencana ke depan, dan merencanakan suatu strategi yang tepat
d. Metakognisi, adalah suatu proses berpikir tentang berpikir, mereka mampu mengukur kemampuan diri, pengetahuan, tujuan, serta langkah-langkah untuk mencapainya. Dengan kata lain, mereka mampu merencanakan, membuat suatu keputusan dan memilih strategi atau alternatif pemecahan masalah.
e. Berpikir tanpa batas atau berpikir abstrak, misalnya tentang politik, agama atau keyakinan, moral maupun hubungan antar manusia.
Dari tahapan-tahapan perkembangan kognitif tadi remaja jelas berada pada tahap keempat yakni tahap formal operasional. Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini, anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berfikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugasnya.
Pada tahap ini interaksi anak dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman sebayanya dan bahkan berusaha berinteraksi dengan orang dewasa. Kondisi seperti ini tidak jarang menimbulkan masalah dalam interaksinya dengan orangtua. Namun sebenarnya secara diam-diam mereka juga masih mengharapkan perlindungan dari orang tua karena belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jadi pada tahap ini ada semacam tarik menarik antara ingin bebas dengan dilindungi.
Karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya. Mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti. Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih memberikan akibat yang positif bagi perkembangan kognitif nya. Misalnya, menulis puisi, lomba karya ilmiah, lomba menulis cerpen dan sejenisnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif adalah faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor dari dalam diri remaja sendiri yakni faktor fisik dan panca indera dan lain-lain., sedangkan faktor psikologis adalah kejiwaan, mental, afektif, psikomotor, kepribadian, dan lain-lain.

E. Perkembangan Moral dan Budi Pekerti
Istilah “moral” dari segi etimologis, menurut K. Prent (dalam Hermansyah, 2001) berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan moral sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima oleh umum. Bermoral artinya, mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak mulia.
Piaget mendefinisikan moral sebagai dorongan kuat yang baik serta patuh terhadap peraturan-peraturan yang diikuti dengan tanggung jawab yang obyektif dan berkaitan erat dengan peraturan-peraturan yang sudah pasti.
Menurut Franz Magnis Suseno (dalam Erny Trisusilaningsih, 2006:10), kata moral selalu menunjuk pola manusia sebagai manusia. Norma moral adalah norma untuk mengukur betul salahnya suatu tindakan manusia sebagai manusia, bukan untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia yang berkaitan dengan kecakapan atau keterampilannya dalam suatu pekerjaan tertentu.
Moral berkaitan dengan nilai, norma dan tata aturan yang berakar pada pengendalian dari dalam diri sendiri (self control). Sedangkan kata moral sendiri berasal dari kata mores dalam bahasa latin yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, kebiasaan.
Tingkah laku yang bermoral menurut Gunarsa (1995) ialah tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai tata cara/adat yang ada dalam suatu kelompok Nilai-nilai adat ini mungkin berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Bahkan di dalam suatu masyarakat mungkin terdapat bermacam-macam batasan mengenai nilai-nilai moral. Hal ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan suatu kelompok sosial atau masyarakat.
Tahap–tahap perkembangan moral menurut John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget dalam bukunya Kohlberg tahun 1995 mengemukakan tiga tahap perkembangan moral :
a. Tahap Pramoral, ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan.
b. Tahap Konvensional, ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada kekuasaan.
c. Tahap Otonom, ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas.
Tahap perkembangan moral pada remaja sendiri merupakan tahap transisi dari tahap Pramoral – Konvensional ke tahap Otonom, dimana pada masa remaja ini terjadi proses pencarian jati diri dalam pembentukan sikap dan karakter nilai moral dimana remaja sudah mulai mengerti akan tata nilai dan mengembangkan tata aturan nilai baru dalam menumbuhkan identitas serta realitas baru kehidupan remaja.
Karakteristik perkembangan moral remaja yang paling menonjol seiring perkembangan fisik, psikologi, dan kognitifnya adalah kemampuan berfikir abstrak, logis, dan analis sehingga mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang kritis namun tetap idealis. Sikap kritis dan idealis ini kadang bergolak pada sikap remaja yang menentang pada pola baku yang berkembang pada keluarga, lingkungan, bahkan masyarakat termasuk di dalamnya tata nilai tradisi dan adat istiadat.
Perkembangan nilai moral remaja merupakan sikap yang masih sangat labil dalam pola pikir dan implementasinya secara pribadi, remaja cenderung kritis terhadap situasi realitas di luar dirinya sendiri namun kadang acuh terhadap sikap dan pribadinya yang terkait yang sering tidak bertanggung jawab. Karakter remaja yang suka menentang ini hanya hanya bersifat sementara karena pengaruh gejolak perubahan psikis dan intelektual menuju ke arah pendewasaan berfikir dan bersikap ke arah moralitas yang lebih matang dan otonom.
Perkembangan nilai moral remaja merupakan interaksi dan inklusivitas antara perkembangan psikis dan intelektual dengan pengalaman-pengalaman pada realitas keluarga, lingkungan dan masyarakat. Kemampuan berfikir dan bersikap akan menstimulus remaja pada kemampuan menilai baik dan buruk serta salah dan benar terhadap suatu tatanan sosial. Perkembangan moral pada remaja memiliki perbedaan tersendiri pada tiap individu berkait dengan kemampuan fisik, psikis dan kognitifnya serta keberadaan lingkungan di mana remaja tumbuh. Seorang remaja yang berkembang pada lingkungan kondusif (lingkungan santri, terdidik, daerah aman, strata sosial baik) serta kemampuan fisik, psikis, dan kognitif yang baik akan memiliki standar nilai moral yang cukup tinggi, sebaliknya remaja yang tumbuh pada lingkungan yang kurang kondusif (daerah kriminal, lokalisasi, daerah perjudian, lingkungan kumuh, dan lain-lain)serta aspek fisik, psikis dan intelektual rendah juga akan memiliki standar nilai moral yang rendah pula.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa perkembangan nilai moral akan selalu terkait erat dengan budi pekerti. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam pesan moral adalah pembentuk budi pekerti secara keseluruhan.
Menurut Edi Sedyawati, dkk (1995) budi pekerti sering diartikan sebagai moralitas yang mengandung pengertian antara lain adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Sebagai perilaku, budi pekerti meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku itu. Jadi budi pekerti dapat berlaku bermacam-macam, tergantung situasinya. Sikap dan perilaku itu mengandung lima jangkauan sebagai berikut :
1. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan.
2. Sikap dan perilaku dalam hubungan dengan diri sendiri.
3. Sikap dan perilaku dalam hubungan dengan keluarga.
4. Sikap dan perilaku dalam hubungan dengan masyarakat dan bangsa.
5. Sikap dan perilaku dalam hubungan dengan alam sekitar.
Pengembangan nilai moral dan budi pekerti pada anak remaja menjadi sangat penting khususnya implikasinya bagi pendidikan guna menciptakan generasi penerus bangsa yang tidak hanya maju secara intelektual namun juga kokoh dalam nilai moral dan kepribadian yang berbudi pekerti, namun sayangnya pendidikan kita masih lebih mengedepankan aspek-aspek kognitif dibanding aspek-aspek psikomotorik maupun afektif.

BAB III
MASALAH TUMBUH KEMBANG REMAJA

A. Gangguan pertumbuhan
Sebagaimana telah diuraikan dimuka, masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi yang ditandai dengan kecepatan pertumbuhan fisik, perkembangan mental, emosional serta sosial.
Pertumbuhan menggambarkan proses bertambahnya ukuran panjang dan berat. Proses pertumbuhan merupakan proses berkesinambungan yang dipengaruhi oleh faktor genetik (ras, keluarga) dan faktor lingkungan bio psikososial sejak konsepsi hingga dewasa. Pertumbuhan fisik dapat digunakan sebagai indikator yang mencerminkan kesehatan fisik seseorang.
Proses pertumbuhan pada setiap individu tidak semuanya berlangsung normal, karena adanya gangguan. Gangguan pertumbuhan sering diidentikkan dengan istilah “gagal tumbuh”. Gangguan pertumbuhan ini bisa disebabkan oleh hal yang bersifat patologis serta gangguan karena kelainan hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis.
Menurut Eddy Fadiyana (dalam Soetjiningsih, 2004) bentuk-bentuk gangguan pertumbuhan dapat dibedakan atas dua macam:
1. Perawakan Pendek
Perawakan pendek atau short stature merupakan suatu terminologi mengenai tinggi badan yang berada di bawah persentil 3 atau 2 SD pada kurve pertumbuhan yang berlaku pada populasi tersebut.
Penyebab gangguan pertumbuhan berupa perawakan pendek selama masa remaja umumnya disebabkan:
a. Kelainan kromosom
Kelainan kromosom umumnya disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan kromosom, gangguan yang paling sering adalah Sindrom Turner.

b. Penyakit sistemik
Gangguan pertumbuhan karena penyakit sistemik umumnya ditandai dengan kadar hormon pertumbuhan yang normal, tetapi dengan kadar somatomedin yang rendah.
c. Gangguan endokrin.
Gangguan endokrin merupakan 10% dari seluruh penyebab perawakan pendek. Hal ini berbeda dengan gangguan penyakit kronis yang lebih banyak berdampak pada berat badan daripada tinggi badan.
2. Perawakan tinggi
Perawakan tinggi (tall stature) mempunyai tinggi badan lebih besar dari 2 SD di atas rata-rata.
Penyebab dari gangguan perawakan tinggi yang paling banyak adalah variasi normal (familial atau constitutional) perawakan tinggi. Penyebab lain dari varian abnormal adalah: Pituitary gigantism, Celebral gigantism (Sotos Syndrom), Hyperthyroidims, dan sebagainya.
Baik perawakan pendek maupun perawakan tinggi menimbulkan beban psikologis yang berat pada masa remaja, karena hal itu dapat membuat penderitanya menjadi rendah diri atau kurang percaya diri dalam bergaul dengan teman sebaya. Oleh karena itu dukungan psikologis dengan cara menenteramkan remaja penderita dari keluarga menjadi sesuatu yang sangat sangat berarti.
Gangguan pertumbuhan pada remaja seringkali memerlukan penanganan dari berbagai disiplin ilmu sehingga dibutuhkan tim terpadu yang akan mengelola kasus secara paripurna.
Pengobatan untuk perawakan pendek biasanya menggunakan hormon pertumbuhan sintetik yang diindikasikan bukan hanya pada keadaan defisiensi hormon pertumbuhan saja, tetapi meluas dengan berbagai indikasi lainnya misalnya pada sindrom turner, gagal ginjal kronis dan sebagainya. Sedangkan pengobatan untuk perawakan tinggi sering digunakan seks steroid. Pengobatan tersebut untuk mempercepat penutupan epifisis, walaupun manfaatnya akan sangat kecil apabila diberikan pada pubertas lanjut. Karena idealnya diberikan pada masa pra pubertas atau pada awal pubertas. Disamping itu dapat diberikan estrogen oral. Pemberian estrogen oral ini dalam berbagai dosis mampu mengurangi tinggi badan perempuan 5 – 10 cm dari yang diperkirakan.

B. Pubertas Terlalu Dini
Pubertas adalah masa ketika seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis dan pematangan fungsi seksual. Masa pubertas dalam kehidupan kita biasanya dimulai saat berumur 8 hingga 10 tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. Pada anak perempuan, tanda fisik yang khas dari pubertas adalah adanya telarche atau pembesaran payudara dan adanya pubarche atau pertumbuhan rambut pubis serta terjadinya menstruasi. Sedangkan pada anak laki-laki pubertas ditandai dengan membesarnya volume testis, diikuti dengan pertumbuhan rambut pubis dan bertambah panjangnya ukuran penis.
Seorang remaja dikatakan mengalami pubertas terlalu dini atau pubertas prekok bila tanda-tanda pubertas ditemukan sebelum umur 8 tahun pada perempuan dan sebelum umur 9 tahun pada laki-laki.
Berdasarkan penyebabnya, pubertas terlalu dini dibagi menjadi empat macam, yaitu : (1) Pubertas prekok tipe sentral atau disebut juga pubertas prekok tergantung gonadotropin (GDPP). Penyebabnya adalah terangsangnya secara lebih awal aksis hipotalamus-hipofise yang normal; (2) Pubertas prekok tipe perifer atau disebut juga pubertas prekok tidak tergantung gonadotropin (GIPP). Penyebabnya adalah tidak normalnya produksi hormon seks steroid dan tidak ada aktivasi dari aksis hipotalamus-hipofise; (3) Pubertas prekok tipe gabungan antara sentral dan perifer; dan (40 Pubertas prekok dengan mekanisme belum diketahui.
Adapun pengobatan pubertas prekok tipe sentral yang paling efektif adalah dengan menggunakan GnRH agonis. Pada GIPP perempuan dapat diberikan medroksiprogesteron asetat setiap bulan secara intramuskuler.

C. Pubertas Terlambat
Pubertas terlambat (delayed puberty) pada perempuan didefinisikan tidak membesarnya payudara sampai umur 13 tahun atau tidak adanya menstruasi sampai umur 15 tahun. Pada laki-laki pubertas terlambat apabila panjang testis tidak mencapai 2,5 cm atau volume testis tidak mencapai 4 ml sampai umur 14 tahun. Secara statistik pubertas yang mengalami keterlambatan sebanyak 2,5% dari normal populasi remaja pada kedua jenis kelamin. Lebih banyak pada laki-laki yang mengalami keterlambatan pubertas dibandingkan dengan perempuan.
Klasifikasi yang digunakan pada pubertas yang terlambat didasarkan pada sekresi gonadotropin yang dihubungkan dengan stadium diferensial seksual. Berdasarkan kadar gonadotropin dapat dibadi menjadi dua, yaitu:
1. Hypergonadotropic hypogonadism
Pada keadaan ini ditemukan kadar hormon gonadotropin meningkat namun kadar hormon seks steroid seperti testoteron dan estrogen tetap rendah.
2. Hypogonadotropic hypogonadis
Pada keadaan ini ditemukan kadar hormon gonadotropin maupun kadar hormon seks steroid seperti testoteron dan estrogen sama-sama rendah.
Menurut Wayan Bikin Suryawan (dalam Soetjiningsih, 2004) keterlambatan pubertas pada remaja sangat mempengaruhi secara psikososial. Pengaruh tersebut antara lain:
1. Gejala tekanan emosional seperti mudah marah dan depresi
2. Gangguan psikomotor seperti sakit perut
3. Perasaan rendah diri sebagai laki-laki maupun perempuan
4. Menjauhi teman-teman sebayanya
5. Penampilan bersekolah yang kurang
6. Peningkatan absen sekolah
7. Penurunan aktivitas olah raga
8. Perkataan dan pendidikan yang tidak adekuat
9. Peningkatan ketergantungan
Pengobatan yang diberikan tergantung penyebabnya, dan sering digunakan seks steroid dosis rendah yang ditingkatkan secara bertahap, di mana pada laki-laki digunakan testoteron enantate intramuskuler dan pada perempuan digunakan estrogen oral dan medroxiprogesteron. Dengan menggunakan steroid dosis rendah yang ditingkatkan secara bertahap, pubertas akan terangsang secara alamiah dengan efek samping yang minimal pada pertumbuhan.

D. Obesitas
Obesitas (obesity) merupakan keadaan patologis sebagai akibat dari konsumsi makanan yang jauh melebihi kebutuhannya (psychobiological cues for eating) sehingga terdapat penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh.
Dalam dua dekade yang telah berjalan, anak dan remaja obes ditemukan meningkat masing-masing 54% dan 39%. Dan 70% dari mereka akan tetap obes atau kegemukan ketika dewasa, selebihnya menjadi BB lebih stadium berat.
Penyebab obesitas secara faktual adalah asupan energi yang melebihi kebutuhan atau pemakaian energi yang kurang. Asupan energi yang berlebihan tersebut dapat merupakan kelebihan energi yang menetap. Obesitas umumnya menyebabkan akumulasi lemak pada daerah subkutan dan jaringan lainnya.
Cara sederhana untuk menentukan anak remaja kita mengalami obesitas atau tidak adalah dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT adalah suatu indeks dari Berat Badan (BB) seseorang dalam hubungannya dengan Tinggi Badan (TB).
Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

Keterangan:
IMT = Indeks Massa Tubuh
BB (Kg) = Berat Badan dalam Kilogram
TB (M2) = Tinggi Badan dalam Meter dikuadratkan.

Adapun kategori ambang batas IMT yang digunakan sebagaimana terlihat pada Tabel 1:

Tabel 1: Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
Kategori Indikasi IMT
Kurus Kekurangan berat badan berat
Kekurangan berat badan ringan 27,0

Beberapa kerugian orang yang berbadan kurus antara lain: penampilan cenderung kurang baik, mudah letih, dan resiko sakit tinggi (infeksi, anemia, diare, dsb). Sedangkan orang yang mengalami obesitas kerugiannya antara lain: penampilan kurang menarik, gerakan tidak gesit (lamban), dan mempunyai resiko penyakit jantung, kencing manis (diebetes mellitus), tekanan darah tinggi, gangguan ginjal dan sebagainya.
Upaya mengatasi obesitas adalah dengan cara diet seimbang dan banyak berolahraga. Sementara rekomendasi klinis menurut McCarty dan Mellin (dalam Soetjiningsih, 2004) adalah sebagai berikut:
1. Seleksi diet sehat dengan kandungan lemak hanay sekitar 30%.
2. Pemberian diet moderat, tidak membatasi oleh karenanya makanan kegemaran tidak dilarang.
3. Pemotongan asupan kalori tidak dilakukanseketika, dan tidak meninggalkan kebiasaan sebelumnya.
4. Makanan camilan masih dapat diberikan, lebih baik jika mereka menyukai buah dan sayur, jumlahnya dibatasi.
5. Makanan tidak dipakai sebagai sesuatu bentuk hadiah.
6. aktivitas fisik ditingkatkan seperti jalan kaki atau naik sepeda ke sekolah.
7. Tambahkan program latihan resmi ke jadwal kegiatan sehari-hari.
8. Program latihan disesuaikan dengan individu masing-masing sehingga mereka menikmati aktivitasnya.
9. Utamakan waktu latihan dibandingkan sesuatu kegiatan yang merugikan, bila waktu memungkinkan.
10. Orangtua berperan sebagai model sehat, misalnya kebiasaan makan dan aktivitas yang sesuai.
11. Jaga tampilan secara wajar, agar bentuk dan tipe tubuh sesuai dengan yang dimiliki. Peningkatan BB adalah wajar selama pertumbuhan, asal tidak diluar kendali sehingga memerlukan perhatian khusus.

E. Depresi
Depresi merupakan penyakit yang cukup mengganggu kehidupan. Saat ini diperkirakan ratusan juta jiwa penduduk di dunia menderita depresi. Depresi dapat terjadi pada semua usia termasuk remaja. Gangguan depresi ini dapat menimbulkan penderitaan yang berat. Depresi menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat. Biaya pengobatannya sangat besar dan bila tidak diobati dapat terjadi hal yang sangat buruk karena dapat menimbulkan gangguan serius dalam fungsi sosial, kualitas hidup penderita, hingga kematian karena bunuh diri.
Istilah depresi pertama kalii dikenalkan oleh Meyer (1905) untuk menggambarkan suatu penyakit jiwa dengan gejala utama sedih, yang disertai gejala-gejala psikologis lainnya, gangguan somatik (fisik) maupun gangguan psikomotor dalam kurun waktu tertentu dan digolongkan ke dalam gangguan afektif.
Anak remaja yang mengalami gangguan depresi akan menunjukkan gejala-gejala seperti perasaan sedih yang berkepanjangan, suka menyendiri, sering melamun di dalam kelas/di rumah, kurang nafsu makan atau makan berlebihan, sulit tidur atau tidur berlebihan, merasa lelah, lesu atau kurang bertenaga, serasa rendah diri, sulit konsentrasi dan sulit mengambil keputusan. Selain itu merasa putus asa, gairah belajar berkurang, tidak ada inisiatif, hipo atau hiperaktif. Anak remaja dengan gejala-gejala depresi akan memperlihatkan kreativitas, inisiatif dan motivasi belajar yang menurun, sehingga akan menimbulkan kesulitan belajar sehingga membuat prestasi belajar anak menurun dari hari ke hari.
Dengan demikian, depresi harus dibedakan dengan kesedihan biasa, karena depresi adalah salah satu gangguan jiwa sedangka kesedihan adalah fenomena sosial yang dapat dialami oleh setiap manusia. Dua hal itu dapat dibedakan secara kuantitatif. Pada depresi, episode lebih lama, gejala lebih intensif dibandingkan dengan kesedihan biasa. Pada depresi faktor presipitasi tidak sejelas pada kesedihan biasa dan kualitas gejala depresi ada yang khusus seperti halusinasi dan pikiran bunuh diri yang tidak terdapat pada kesedihan biasa.
Menurut I Gusti Ayu Endah Ardjana (dalam Soetjiningsih, 2004) depresi yang nyata menunjukkan trias gejala, yaitu:
1. Tertekannya perasaan
Tertekannya perasaan dapat dirasakan penderita, dilaporkan secara verbal, dapat pula diekspresikan dalam bentuk roman muka yang sedih, tidak mengindahkan dirinya, mudah menangis dan sebagainya.
2. Kesulitan berpikir
Kesulitan berpikir nampak dalam reaksi verbalnya yang lambat, sedikit sekali bicara dan penderita menyatakan dengan tegas bahwa proses berpikirnya menjadi lambat.
3. Kelambatan psikomotor
Kelambatan psikomotor merupakan gejala yang dapat dinilai secara obyektif oleh pengamat dan juga dirasakan oleh penderita. Misalnya mudah lelah, kurang antusias, kurang energi, ragu-ragu, keluhan somatik yang yang tak menentu.
Depresi yang nyata dapat dilihat pada anak usia lebih 10 tahun terutama apada usia remaja, di mana superego, kemampuan verbal, kognitif dan kemampuan menyatakan perasaannya sudah berkembang lebih matang sehingga gejala depresi pada usia ini mirip dengan gejala depresi pada orang dewasa. Pada usia lebih dari 10 tahun, penggunaan proses berpikir secara realistik makin berkembang, penggunaan fantasi sebagai alat pelarian makin hilang, sudah tidak menggunakan mekanisme pembelaan yang primitif dan makin berkembangnya suara hati nurani (superego) yang akan memperhebat perasaan bersalah dan rendah diri.
Berdasarkan penelitian, semakin meningkat usia anak maka angka kejadian depresinya makin meningkat. Dari data penelitian di Amerika, didapatkan gejala depresi pada remaja umur 11-13 tahun (remaja awal) lebih ringan secara bermakna dibandingkan dengan gejala depresi pada umur 14 tahun (remaja menengah) dan umur 17-18 tahun (remaja akhir). Remaja awal dengan gejala depresi lebih sering mengeluh dirinya kurang menarik dan ingin berat badannya turun dari pada remaja akhir. Remaja dengan sosio-ekonomi lebih rendah, lebih berat gejala depresinya daripada remaja dengan sosio ekonomi yang lebih tinggi.
Walaupun depresi sudah dikenal sejak beberapa abad yang lalu, penyebabnya belum diketahui secara pasti. Penelitian untuk mengetahui mekanisme terjadinya sudah cukup banyak dilakukan, baik dalam bidang genetik, pencitraan otak, kimia otak, atau psikodinamika, namun hasilnya belum memberikan kepastian.
Meskipun penyebab depresi remaja tidak diketahui secara lengkap, namun telah diajukan sejumlah teori penting yang dapat digunakan sebagai gambaran sebagai faktor penyebab depresi. Setidaknya ada lima faktor yang dapat diketahui sebagai faktor penyebab depresi, yaitu:
Pertama, faktor psikologis. Menurut teori Psikoanalitik (Freud, 1917) dan Psikodinamik (Abraham, 1927) depresi disebabkan karena kehilangan obyek cinta, kemudian individu mengadakan introyeksi yang ambivalen dari obyek cinta tersebut atau rasa marah diarahkan pada diri sendiri. Sementara Beck (1974) dengan model cognitive-behavioral nya menyatakan bahwa depresi terjadi karena pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, interpretasi yang negatif terhadap pengalaman hidup dan harapan yang negatif terhadap diri sendiri dan masa depan. Ketiga pandangan ini menyebabkan timbulnya depresi, rasa tidak berdaya dan putus asa. Penyebab depresi apada anak usia remaja mirip dengan orang dewasa, biasanya karena triad cognitive yaitu: perasaan tidak berharga (worthlessness), tidak ada yang menolong dirinya sendiri (helplessness), dan tidak ada harapan (hopelessness). Sedangkan menurut teori belajar “merasa tidak berdaya” (learned helplessness model) dari Seligman (1975) depresi terjadi bila seorang individu mengalami suatu peristiwa yang tidak dapat dikendalikannya, kemudian merasa tidak mampu pula menguasai masa depan.
Kedua, faktor biologis. Faktor ini terdiri atas faktor neuro-kimia dan neuro-endokrin. Faktor neurokimia, yaitu mono-amine neurotransmitters, kekurangan zat ini bisa menyebabkan timbulnya depresi. Faktor neuro-endokrin bisa berasal dari terjadinya disfungsi dalam sistem penyaluran rangsang dari hipotalamus ke hipofise dan target organ lain, gangguan ritme biologis, meningkatnya kardar hormon pertumbuhan secara berlebihan serta gangguan tiroid.
Ketiga, faktor neuro-imunologis. Pada orang dewasa sering ditemukan gangguan dalam bidang imunologis sehingga lebih mudah terjadi infeksi pada susunan syaraf pusat. Kemungkinan lain adalah bahwa zat-zat imunologis tersebut terlalu aktif sehingga menimbulkan kerusakan pada susunan saraf pusat. Hal ini sangat jarang terjadi pada anak dan remaja.
Keempat, faktor genetik. Depresi bisa disebabkan oleh faktor keturunan. Resiko untuk terjadinya depresi meningkat antara 20 – 40 % untuk keluarga keturunan pertama. Dapat dikatakan bahwa anak-anak dari orangtua yang depresi psikotik dan depresi non-psikotik terdapat insiden yang tinggi dari gejala depresi ini. Memiliki satu orangtua yang mengalami depresi, meningkatkan resiko dua kali pada keturunannya. Resiko itu meningkat menjadi empat kali bila kedua orangtuanya sama-sama mengalami depresi.
Kelima, faktor psikososial. Anak remaja dalam lingkungan keluarga yang broken home, jumlah saudara banyak, status ekonomi orangtua rendah, pemisahan orangtua dengan karena meningggal atau perceraian serta buruknya fungsi keluarga, merupakan faktor psikososial yang dapat menyebabkan anak remaja mengalami depresi.
Depresi berdasarkan karakteristiknya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam:
1. Depresi Akut
Depresi akut mempunyai ciri-ciri: manifestasi gejala depresi jelas (nyata), ada trauma psikologis berat yang mendadak sebelum timbulnya gejala depresi, lamanya gejala hanya dalam waktu singkat, secara relatif mempunyai adaptasi dan fungsi ego yang baik sebelum sakit dan tidak ada psikopatologi yang berat dalam anggota keluarganya yang terdekat.
2. Depresi Kronik
Depresi kronik mempunyai ciri-ciri: gejala depresi jelas (nyata) tetapi tidak ada faktor pencetus yang mendadak, gejalanya dalam waktu lebih lama dari pada depresi akut. Ada gangguan dalam penyesuaian diri sosial dan emosional sebelum sakit, biasanya dalam bentuk kepribadian yang kaku, ada riwayat gangguan afektif pada anggota keluarga terdekat.
3. Depresi terselubung
Gejala depresi tak jelas tetapi menunjukkan gejala lain misalnya; hiperaktif, tingkah laku agresif, psikosomatik, dan sebagainya.
Gejala-gejala yang tampak pada penderita depresi menurut Pedoman Penggolongan dan Dianognis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III dibedakan atas gejala utama dan gejala tambahan. Gejala utama terdiri atas: (1) Suasana perasaan yang tertekan sepanjang hari; (2) Kehilangan minat dan gairah pada hampir semua aktivitas, yang dirasakan sepanjang hari; (3) mudah lelah dan menurunnya aktivitas. Sedangkan gejala tambahan terdiri atas: (1) Konsentrasi dan perhatian berkurang; (2) Harga diri dan rasa percaya diri berkurang; (3) Merasa bersalah dan tidak berguna; (4) Pandangan masa depan suram dan pesimistik; (5) Imsomnia atau hipersomnia; (6) Nafsu makan berkurang; (7) Gagasan dan perbuatan membahayakan diri atau pikiran untuk bunuh diri.
Gejala depresi ini minimal berlangsung dua minggu. Depresi pada remaja sering dominan berkaitan dengan penyimpangan perilaku, penyalahgunaan obat, penyimpangan seksual, keluhan fisik tak khas, dan problema sekolah.
Beberapa pegangan untuk mengetahui apakah pada anak remaja terdapat depresi atau tidak antara lain:
1. Pendekatan dan wawancara dengan remaja dengan cara diajak berceritera
2. Observasi afek (suasana perasaan) dan perilaku remaja
3. Bila remaja menjadi nakal, prestasi sekolah menurun, kelainan somatik tanpa didasari kelainan fisik, maka harus dipikirkan kemungkinan depresi terselubung.
Penanganan depresi pada remaja harus menggunakan konsep elektik-holistik, yaitu penanganan lingkungan, psikoterapi dan medika mentosa. Psikoterapi terapi yang dapat diberikan adalah terapi keluarga, psikoterapi interpersonal, dan terapi perilaku kognitif (cognitive behavior theraphty).

BAB IV
PERILAKU NEGATIF REMAJA

A. Merokok
Walaupun bukan merupakan sesuatu yang diharamkan oleh agama, merokok merupakan kebiasaan negatif yang dapat menimbulkan dampak buruk, terutama bagi anak remaja. Bila sudah kecanduan akan sangat susah untuk mengehentikan kebiasaan merokok ini.
Angka kejadiannya pada remaja-remaja di Amerika Serikat pada tahun 200 melebihi 25% dari angka kejadian merokok pada orang dewasa., dan dikatakan terdapat peningkatan sekitar 59% dari tahun 1988. Lebih dari 80% perokok mulai sebelum umur 18 tahun.
Di Indonesia, walaupun belum ada data tentang merokok pada remaja, diperkirakan angka kejadiannya tidak jauh berbeda dengan kondisi di negara lain. Namun yang pasti, merokok telah menjadi semacam “trademark” bagi seorang remaja laki-laki untuk menunjukkan maskulinitasnya. Remaja yang tidak merokok dianggap tidak gaul, tidak modern, dan kurang luwes dalam pergaulan. Yang memprihatinkan, sekarang ini tidak sedikit remaja perempuan yang juga memiliki kebiasaan merokok. Walaupun jumlahnya kecil dari remaja laki-laki, namun menilik akibat bagi kesehatannya termasuk keturunannya kelak, kebiasaan yang negatif ini perlu diwaspadai.
Secara lebih detail Ida Bagus Subanada (dalam Soetjiningsih, 2004) menguraikan faktor-faktor penyebab remaja untuk merokok. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor Psikologik
Faktor psikologik terdiri atas:
a. Faktor Perkembangan Sosial
Aspek perkembangan yang ada pada remaja antara lain: (1) Menetapkan kebebasan dan otonomi, (2) Membentuk identitas diri, (3) Penyesuaian perubahan psikososial yang berhubungan dengan maturasi fisik. Merokok menjadi sebuah cara bagi remaja agar mereka tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya yang merokok. Istirahat/santai dan kesenangan, tekanan-tekanan teman sebaya, penampilan diri, sifat ingin tahu, stress, kebosanan, ingin kelihatan gagah dan sifat suka menentang, merupakan hal-hal yang dapat mengkontribusi mualinya merokok pada anak remaja. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi adalah rasa rendah diri, hubungan antar perseorangan yang jelek, kurang mampu mengatasi stress, putus sekolah, sosial ekonomi yang rendah, tingkat pendidikan orangtua yang rendah, serta tahun-tahun transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah (usia 11-16 tahun).
Merokok sering dihubungkan dengan remaja yang memiliki nilai di sekolah yang jelek, aspirasi yang rendah, penggunaan alkohol serta obat-obatan lainnya, absen sekolah, kemungkinan putus sekolah, rendah diri, suka melawan, dan pengetahuan tentang bahaya merokok yang rendah.
b. Faktor Psikiatrik
Studi epidemiologi pada dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok dengan gangguan psikiatrik seperti skizofrenia, depresi, cemas, dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Pada remaja didapatkan asosiasi antara merokok dengan depresi dan cemas. Gejala depresi lebih sering terjadi pada remaja perokok dari pada yang bukan perokok. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi mayor dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Remaja yang memperlihatkan gejala depresi dan cemas mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk memulai merokok. Remaja dengan gangguan cemas bisa menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang mereka alami.
2. Faktor Biologik
Beberapa faktor biologik yang mempengaruhi kebiasaan merokok terdiri atas:

a. Faktor Kognitif
Beberapa perokok merasakan adanya efek bermanfaat dari nikotin, yang konon dapat memperbaiki konsentrasi, sehingga menyebabkan mereka kecanduan merokok. Sebenarnya pada remaja, efek nikotin dalam meningkatkan penampilan tidak diketahui. Dengan demikian tidak jelas apakah nikotin memegang peranan penting dalam memulai atau mempertahankan merokok pada remaja.
b. Faktor Jenis Kelamin
Belakangan, merokok meningkat pada remaja perempuan. Wanita merokok dilaporkan menjadi percaya diri, suka menentang dan secara sosial cakap. Keadaan ini berbeda dengan laki-laki perokok yang secara sosial tidak aman.
c. Faktor Etnik
Etnik atau suku tertentu, angka kejadian merokok tinggi. Sementara etnik lainnya, angka kejadiannya lebih rendah. Hal ini menyebabkan dorongan merokok pada remaja juga berbeda. Di Amerika, angka kejadian merokok tertinggi ada pada orang-orang kulit putih dan penduduk asli, sementara kejadian terendah adalah pada orang-orang keturunan Afrika dan Asia. Di Indonesia, Suku Jawa memiliki kebiasaan merokok lebih kuat daripada suku Madura.
d. Faktor Genetik
Variasi genetik mempengaruhi fungsi reseptor dopamin dan enzim hati yang memetabolisme nikotin. Ini menyebabkan meningkatnya resiko kecanduan nikotin pada beberapa individu.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memiliki kontribusi terhadap kebiasaan merokok pada remaja adalah orangtua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok. Reklame rokok yang gencar serta artis idola yang merokok juga memiliki dampak pada keinginan merokok pada remaja. Orangtua memegang peranan terpenting. Dari remaja yang merokok, didapatkan 75% salah satu atau kedua orangtuanya merokok.
4. Faktor Regulatori
Peningkatan harga jual atau diberlakukannnya cukai yang tinggi, akan menurunkan pembelian dan konsumsi. Pembatasan fasilitas/daerah bebas merokok, diyakini mampu mengurangi konsumsi. Namun kejadian ini tidak banyak memberikan pengruh pada remaja, karena kenyataannya tetap saja terdapat peningkatan kejadian merokok pada remaja, walaupun telah dilakukan usaha-usaha untuk mencegahnya.
Atas dasar faktor-faktor di atas, program penghentian merokok pada remaja sering tidak memberikan hasil yang memuaskan. Namun demikian, program penghentian merokok yang dilakukan di sekolah melalui upaya pemberian informasi tentang bahaya merokok bagi kesehatan, dinilai memberikan hasil yang cukup berarti.
Kebanyakan program pencegahan merokok akhir-akhir ini terfokus pada periode transisi dari SD ke SMP, karena selama periode ini terjadi peningkatan merokok lebih dari 3 kali lipat.

B. Seks Bebas
Dari berbagai studi yang pernah dilakukan baik oleh lembaga pemerinta maupun swasta menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja belakangan ini sudah dalam taraf mencemaskan. Persentase remaja laki-laki yang punya teman perempuan yang pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah sebesar 24%. Sedangkan remaja perempuan yang punya teman laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah adalah 14,4%. Khusus di Jakarta, yang pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah ada sebanyak 42%.
Kondisi perilaku seks para remaja itu, menurut dr. Boyke Dian Nugraha, Sp.OG (ahli gynekologi), sungguh menyedihkan. Apalagi bila menyitir pendapat resmi pemerintah bahwa 6 dari 10 wanita Indonesia yang belum menikah sudah melakukan hubungan seks. Temuan di Jawa Barat hubungan seks itu dimulai pada usia 12-17 tahun sementara di Bali 15-19 tahun. Selanjutnya 6,9% di Jabar dan 5,1% di Bali dari remaja yang melakukan hubungan seks telah mengalami kehamilan di luar nikah. Kenyataan perilaku seks bebas (free sex) dari sebagian remaja kita adalah ditemukannya kasus aborsi illegal di Indonesia sekitar 2 juta kasus per tahun. Angka ini berarti 37 aborsi per 1000 wanita usia 15-49 tahun, sebuah realita yang sangat mengerikan.
Selanjutnya berdasarkan survei yang pernah dilakukan Departemen Kesehatan RI, diperoleh informasi bahwa ternyata dari remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah hanya 14,4% yang tahu benar tentang pengetahuan seksual, 8,9% cukup tahu dan selebihnya 76,7%) kurang tahu dan tidak tahu tentang pengetahuan seksual. Umumnya mereka menyatakan paparan pornografi diperoleh dari buku dan film. Itulah barangkali sebabnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak populer di kalangan remaja.
Fakta tentang perilaku seks remaja kita di atas mengindikasikan, dewasa ini memang telah terjadi dekadensi moral serius pada remaja sehingga membuat mereka terperosok pada perilaku menyimpang. Padahal bila kita mau jujur, remaja adalah generasi penerus di masa depan yang akan sangat mempengaruhi cerah tidaknya masa depan bangsa dan negara di kemudian hari. Disamping secara langsung maupun tidak langsung juga akan mempengaruhi perkembangan budaya Indonesia di masa mendatang. Sayangnya, banyak diantara mereka yang tidak menyadari bahwa beberapa pengalaman yang tampaknya menyenangkan, justru menjerumuskan. Sementara bila sang remaja sudah terlanjur terjerumus dalam pergaulan yang menyesatkan, akan teramat sulit untuk kembali pada kondisi semula. Karena secara fisik maupun psikis telah terdapat “luka” yang sulit disembuhkan.
Berangkat dari kasus-kasus yang terjadi berkaitan dengan perilaku seks di luar nikah yang dilakukan oleh para remaja kita, maka upaya menggugah kepedulian remaja tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) perlu dilakukan oleh pemerintah melalui pihak-pihak yang berkompeten. Ada dua alasan mendasar mengapa hal itu perlu dilakukan, yaitu:
Pertama, remaja adalah tumpuan masa depan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dimana cerah tidaknya akan sangat dipengaruhi oleh kualitas remajanya sebagai generasi penerus. Bisa dibayangkan betapa bobroknya negeri ini di masa mendatang bila remaja kita moralnya rusak. Karena betapapun mereka adalah calon pemimpin negeri ini yang kelak juga akan berkeluarga dan menghasilkan keturunan. Sementara keluarga-keluarga yang mereka bentuk menjadi pilar ketahanan bangsa dalam arti luas.
Kedua, akibat dari hubungan seks di luar nikah telah menyebabkan remaja mengalami gangguan kesehatan reproduksi karena infeksi penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS. Merujuk data dari Departemen Kesehatan tahun 2002, persentase remaja usia 15-19 tahun dan dewasa musa usia 20-25 tahun yang tercakup dalam kasus HIV/AIDS kumulatif mencapai 50% dengan total penderita 2.876 kasus. Bisa dibayangkan seberapa besar peningkatan jumlah remaja yang terkena HIV/AIDS jika sekarang ini jumlah kasus HIV/AIDS total se- Indonesia telah mencapai 16.288 kasus. Berapa pula besarnya biaya untuk pengobatannya bila setiap kasus mencapai sekitar US $ 16.710 (Rp. 158.745.000,- kurs Rp. 9500 per dollar). Akibat aktivitas seksual sebelum menikah juga telah menimbulkan ancaman lain terhadap kesehatan reproduksi remaja, yaitu kehamilan remaja dan keputusan untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan melalui aborsi.
Upaya menggugah kepedulian dan kesadaran remaja terhadap KRR ini menjadi semakin penting ketika kita menyadari bahwa penyebab timbulnya perilaku seks remaja umumnya disebabkan oleh pergaulan yang tanpa kontrol, orang tua yang makin sibuk berkarir sehingga kurang memperhatikan anak, norma sosial yang kian kendur, sampai pada kemajuan teknologi hiburan yang makin pesat dewasa ini. Berkenaan dengan teknologi hiburan itu, ia akan memberikan dampak yang lebih parah terhadap remaja bila informasi yang diberikan cenderung negatif.
Perlunya menggugah kepedulian dan kesadaran remaja terhadap KRR juga didasarkan hasil riset Dr. Alpinus Kambodji pada tahun 1999 terhadap perilaku seks siswa kelas III di beberapa SLTP Swasta Surabaya. Dari riset tersebut terungkap bahwa mayoritas responden menjawab sangat butuh informasi tentang seks (pria 57,32%, wanita 54,28%). Ironisnya, informasi tentang seks selama ini sebagian besar didapat bukan dari orang tua atau sekolah, tetapi dari film atau majalah. Sampai saat ini banyak orang tua dan guru yang risih bicara seks di depan para remaja. Inilah yang dicurigai sebagai penyebab utama terjadinya pergaulan bebas dengan beragam konsekuensinya.

C. Minum-minuman Keras
Minum-minuman keras merupakan salah satu bentuk perilaku negatif remaja yang secara langsung maupun tidak langsung akan membahayakan kesegaran jasmani dan rohani, mengancam kehidupan masa depan remaja, memicu timbulnya gangguan ketentraman dan ketertiban umum, serta menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya tindak kekerasan dan kriminalitas serta tindak tidak terpuji lainnya.
Termasuk dalam kategori minum-minuman keras adalah minuman beralkohol. Yang dimaksud minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara peragian (fermentasi) dan penyulingan (destilasi) atau peragian tanpa penyulingan, dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, atau yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran minuman dengan ethanol.
Minuman beralkohol dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan berdasarkan kadar ethanolnya.
1. Golongan A, adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 1,00% sampai 5,00%.
2. Golongan B, adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5,00% sampai 20,00%
3. Golongan C, adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20,00% hingga 55,00%.
Kasus remaja minum-minuman keras di Kulon Progo walaupun belum dalam taraf mengkhawatirkan, namun sudah sering menunjukkan gejala yang cukup mengejutkan, terutama terkait dengan hasil patroli dari Sat Narkoba Polres Kulon Progo yang sering mendapati remaja yang minum-minuman keras. Ini bila dibiarkan dapat merusak mental generasi muda dalam rangka menyiapkan dirinya menjadi generasi masa depan Kulon Progo yang berkualitas.

D. Penyalahgunaan Obat Terlarang
Bentuk perilaku lain dari sebagian remaja yang cukup mencemaskan kalangan orangtua dan masyarakat umum adalah penyalahgunaan obat terlarang/narkoba. Istilah penyalahgunaan obat merujuk pada pengertian setiap penggunaan obat yang menyebabkan gangguan fisik, psikologis, ekonomis, hukum atau sosial, baik pada individu pengguna maupun orang lain sebagai akibat tingkah laku pengguna obat tersebut. Sebenarnya alkohol yang terkandung dalam minum-minuman keras termasuk dalam kategori ini, karena alkohol termasuk kategori depressan yang merupakan obat yang dapat mengurangi rasa cemas dan membuat tertidur (sedatif). Namun alkohol dapat menyebabkan ketergantungan secara fisik maupun psikologis.
Secara spesifik I Gusti Lanang Sidiartha dan I Wayan Westa (dalam Soetjiningsih, 2004) mengklasifikasikan zat atau obat yang sering disalahgunakan orang termasuk remaja adalah sebagai berikut:
1. Cannobinoids, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah marijuana dan hashish.
2. Depressan, yang termasuk kategori ini adalah: (1) Sedatif, obat untuk mengurangi rasa cemas dan membuat tertidur (alkohol, barbiturat, methaqualohe/qualude, gluthetimide/doriden, flunitrazepam/rohipnol, gamma-hydroxybutyrate/GHB); (2) Tranquilizer minor, obat untuk mengurangi rasa cemas serta dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis(diazepam/valium, alprazolam/xanax, chlordiazepoxide/ librium, triazolam/halcion dan lorazepam/ativan); (3) Transquilizer mayor (fenotiazin dan klorpromazin).
3. Stimulan, yang dapat menyebabkan ketergantungan psikologis yang sangat kuat. Yang termasuk kategori ini adalah:
a. Amfetamin, yang termasuk kelompok ini adalah clandestin, methamphetamine, pharmaccutical, dll
b. Nikotin
c. Kafein
d. Kokain
e. Ritalin
4. Halusinogen, yang dapat mempengaruhi sensasi, emosi dan kewaspadaan, dan menyebabkan distorsi persepsi realitas. Obat ini menyebabkan ketergantungan psikologis, namun tidak menyebabkan ketergantungan fisik. Yang termasuk kelompok ini adalah LSD, mescaline, DMT (dimethyltryptamine), DOM, PCP, psilocybin, dsb.
5. Derivat opiun dan morfin, yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan ketergantungan secara fisik maupun psikologis. Yang termasuk kelompok ini adalah morfin, heroin, kodein, meferidin, methadon, fentanil dan opium.
6. Anestesi, obat yang termasuk kelompok ini adalah ketamin dan phencyclidine dan analognya.
Peristiwa makin banyaknya penyalahgunaan obat-obatan terlarang khususnya narkoba di kalangan pelajar saat ini benar-benar telah menggelisahkan masyarakat dan keluarga-keluarga di Indonesia. Betapa tidak, meskipun belum ada penelitian yang pasti berapa banyak remaja pengguna narkoba, namun dengan melihat kenyataan di lapangan bahwa semakin banyak remaja kita yang terlibat kasus narkoba menjadi indikasi betapa besarnya pengaruh narkoba dalam kehidupan remaja di Indonesia. Yang perlu diwaspadai, kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi di kalangan remaja kita ibarat fenomena gunung es dimana kasus yang terlihat hanya sebagian kecil saja, sementara kejadian yang sebenarnya sudah begitu banyak.
Hasil Survai Badan Narkoba Nasional (BNN) Tahun 2005 terhadap 13.710 responden di kalangan pelajar dan mahasiswa menunjukkan penyalahgunaan narkoba usia termuda 7 tahun dan rata-rata pada usia 10 tahun. Survai dari BNN ini memperkuat hasil penelitian Prof. Dr. Dadang Hawari pada tahun 1991 yang menyatakan bahwa 97% pemakai narkoba adalah para remaja.
Di DIY sendiri kasus peredaran narkoba sudah begitu marak. Dinas Sosial Propinsi DIY hingga akhir tahun 2004 menemukan 5.561 orang pengguna narkoba. Di tahun 2005 saja, Polda DIY menangani 181 perkara narkoba., yang meliputi 85 perkara psikotropika dan 96 narkoba, dengan 210 tersangka (201 orang laki-laki dan 9 orang perempuan). Yang mengerikan, dari kasus itu 28 % di antara mereka yang terlibat adalah remaja berusia 17 – 24 tahun. Menurut dr. Inu Wicaksono dari RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta telah menjadi kota nomor dua penyebaran narkoba di Indonesia setelah Jakarta.
Khusus di Kabupaten Kulon Progo, berdasarkan data Sat Narkoba Polres Kulon Progo dapat di ketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 1 kasus narkoba. Namun hasil patroli minum-minuman keras pada bulan Maret 2008 telah menemukan 11 kasus anak minum-minuman keras yang kemungkinan besar juga terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Persoalannya, seberapa besar kasus remaja yang sebenarnya terlibat dalam kasus narkoba , tidak ada yang mengetahui. Namun kasusnya diperkirakan juga mengikuti fenomena “gunung es”.
Mau tidak mau kita harus mengakui, narkoba akan menjadi bahaya laten bagi remaja kita dan masa depan keluarga, masyarakat dan bangsa bila tidak segera dicari cara-cara penanggulangan yang efektif dan efisien. Ada dua alasan mendasar hal itu bisa terjadi. Pertama, karena narkoba dapat merusak kesehatan remaja kita. Remaja yang kecanduan narkoba akan mengalami kemunduran fungsi organ tubuh dan system kekebalannya. Daya pikir sangat berkurang, kehilangan minat/semangat untuk melakukan mengikuti pelajaran sehingga prestasi belajarnya akan terus menurun. Bahkan bila tingkatannya sudah sangat tinggi, bila mereka berumah tangga kelak keturunannya bisa menjadi anak idiot ataupun perkembangan jiwanya terbelakang, mendekati debil dan embisil karena sistem sarafnya terganggu.
Kedua, penyalahgunaan narkoba telah menyeret remaja pada perbuatan buruk lainnya tanpa memikirkan dampaknya lebih jauh. Karena terdorong oleh kenikmatan yang sebenarnya semu sebagai efek sesaat penggunaan narkoba segera setelah merasuk ke tubuhnya, sang remaja akan terus berupaya mendapatkan barang tersebut bagaimanapun caranya. Tidak peduli harus menipu, mencuri, mengompas, merampok atau bahkan dengan membunuh sekalipun. Bahkan untuk remaja putri akan dengan mudah menyerahkan keperawanan dan tubuhnya untuk “disantap” pria hidung belang atau teman sejawatnya sekedar guna mendapatkan barang haram tersebut.
Semuanya itu jelas akan memburamkan masa depan keluarga, masyarakat, dan bangsa termasuk masa depan remaja itu sendiri. Logika yang dapat ditarik sangat sederhana. Remaja yang menyalahgunakan narkoba sudah menjadi generasi yang rusak dan sulit dibenahi. Tubuhnya tidak lagi fit dan fresh untuk belajar dan bekerja membantu orangtua, sementara mentalnya telah dikotori oleh niat-niat buruk untuk mencari cara mendapatkan barang yang sudah membuatnya kecanduan. Bila sudah demikian, apa yang dapat diharapkan dari mereka? Sudah produktifitasnya rendah, kemampuan berpikirnya lemah, masih ditambah perilakunya liar tanpa kendali. Apalagi mengindahkan nilai moral, etika hukum dan agama. Artinya, mereka tidak dapat diharapkan lagi menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas yang mampu mengangkat harkat diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya ke arah yang lebih baik.
Khusus dalam lingkungan keluarga, remaja pengguna narkoba akan memporakporandakan ketahanan keluarga yang dengan susah payah dibangun oleh kedua orang tuanya. Keluarga menjadi tidak lagi mampu mencapai ketenangan hidup, komunikasi antar anggota keluarga terganggu, tumbuh rasa was-was serta kondisi ekonomi yang morat-marit karena ulah sang anak. Belum lagi timbulnya rasa saling curiga saat terjadi peristiwa kehilangan uang/barang karena dicuri oleh anaknya yang telah kecanduan narkoba. Atau munculnya sikap saling menyalahkan, menyesal atau bahkan bersumpah serapah melihat perilaku anaknya yang bak binatang karena tanpa perasaan. Disini bisa dibayangkan betapa pedih dan perih hati orang tua yang akan mengganggu perasaan dan aktifitas sehari-hari, sehingga bisa pula diramalkan betapa fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih dan melindungi serta fungsi pendidikan dalam keluarga akan menjadi luntur dan sirna. Sementara pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut secara baik menjadi pilar utama untuk dapat membangun keluarga berketahanan sebagai syarat pokok untuk dapat menjadi keluarga yang berkualitas.
Sementara kita pun tahu bahwa betapapun kecil kontribusinya, ketahanan keluarga akan mempengaruhi ketahanan bangsa. Karena sebuah negara terdiri dari kumpulan-kumpulan keluarga yang membentuk lingkungan masyarakat dan lingkungan kewilayahan yang menjadi bagian dari negara dimaksud. Jadi bila keluarga-keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat ketahannya hancur akibat remajanya banyak yang menggunakan narkoba, ketahanan bangsa pun akan hancur pula tanpa menunggu waktu lama.
Perlu dimengerti bahwa sebenarnya narkoba yang merupakan akronim dari narkotika dan obat-obaran terlarang sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam dunia medis. Narkotika merupakan zat atau tanaman/bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat mengakibatkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU No 22 tahun 1997). Sementara obat-obatan terlarang (psikotropika) yang dimaksud adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku (UU No 5 Tahun 1997).
Narkoba bila digunakan pada takaran tertentu menurut resep dokter akan memberikan resep kesegaran dan dapat menghilangkan rasa sakit pada pasien. Namun apabila dikonsumsi secara berlebihan yang dalam hal ini diistilahkan dengan penyalahgunaan, akan menimbulkan berbagai efek negatif sebagaimana telah dipaparkan di muka.
Itu pun baru sebagian kecil dari bahaya narkoba. Sebab secara detil, pecandu narkoba akan mengalami penderitaan lahir batin yang luar biasa. Mulai dari mata nerocos, hidung meler-meler, mual-mual sampai muntah, diare, tulang dan sendi nyeri, tidak bisa tidur serta tidak doyan makan, selalu curiga, mudah emosi, hingga selalu gelisah, kacau dan sering mengalami halusinasi penglihatan. Penderitaan ini masih harus ditambah dengan adanya rasa hampa, depresi, ingin mati, tekanan darah meningkat sampai bisa stroke.
Dengan mengingat segala efek negatif penyalahgunaan narkoba tersebut, sudah selayaknya remaja-remaja di Indonesia dibebaskan dari narkoba. Karena dampaknya sungguh-sungguh tidak sepadan dengan manfat yang diperoleh.
Kita tahu bahwa remaja adalah generasi muda harapan bangsa. Mereka yang akan mewarisi tanah air kita berikut segala potensi sumber dayanya. Hal ini berarti remaja suka tidak suka dan mau tidak mau harus siap memikul tanggung jawab yang tidak ringan namun mulia tersebut. Sehingga mereka harus dibebaskan dari narkoba yang nyata-nyata memiliki efek merusak.
Upaya membangun remaja bebas narkoba menjadi semakin penting untuk saat ini, karena kita telah memasuki era millenium tiga yang penuh persaingan akibat kehidupan yang mengglobal. Dunia sekarang ini tidak lagi disekat oleh ruang dan waktu. Bekat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, semua orang dapat mengakses segala informasi dari belahan bumi lain. Dengan diterapkannya pasar bebas, maka bangsa-bangsa yang memiliki SDM majulah yang mampu bersaing. Apa makna dari semuanya itu ? Bangsa kita akan terus terjebak dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan tanpa harapan masa depan bila generasi remajanya banyak yang terbelenggu oleh narkoba. Sehingga upaya mewujudkan remaja bebas narkoba menjadi upaya strategis yang tidak bisa ditawar ataupun ditunda.
Remaja adalah generasi penerus bangsa yang akan menentukan masa depan keluarga, masyarakat dan negara. Sebagai generasi penerus, remaja harus memiliki motivasi kuat untuk belajar dan terus belajar agar kelak akan mampu menjadi generasi yang tidak saja sehat, cerdas dan terampil, tetapi juga bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya bangsa. Sementara dalam lingkungan keluarga akan memberi dukungan positif membangun keluarga yang harmonis dan berketahanan. Oleh karena itu, membangun remaja yang bebas narkoba menjadi tuntutan yang tidak bisa ditunda dan ditawar-tawar.
Membangun remaja bebas narkoba hendaknya dilakukan dengan mengintegrasikan tiga langkah penting, yakni melalui upaya pencegahan dalam lingkugan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat serta melalui gerakan bebas narkoba yang dicanangkan pemerintah untuk diimplementasikan di semau tingkatan masyarakat. Pihak pemerintah juga perlu mensosialisasikan UU No 22 tahun 1997 dan UU No 5 Tahun 1997 secara luas berikut sanksinya dan berupaya keras agar kegiatan/aktivitas yang memberi peluang terhadap peredaran narkoba dapat dihilangkan atau ditekan seminimal mungkin.

E. Kenakalan Remaja
I Gusti Ayu Trisna Windiani dan Soetjiningsih (2004) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai tindakan kriminal (sesuai dengan batasan hukum setempat) yang dilakukan oleh remaja berumur kurang dari 17 tahun atau 18 tahun. Batasan kenakalan remaja secara medis sering diidentikkan dengan gangguan tingkah laku.
Menurut Nursisto (1994), remaja yang nakal, boleh jadi disebabkan oleh berbagai hal. Misalnya karena pendidikan di sekolah yang amburadul atau lingkungan pergaulan di masyarakat yang cenderung negatif. Dengan demikian, motif yang mendorongnya menurut Kartini Kartono (2003) dapat berupa: (1) konflik batin sendiri dan kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional; (2) kesukaan untuk meniru dan berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya; (3) salah asuh dan salah dalam mendidik anak sehingga anak terlanjur manja; dan sebagainya. Namun melihat dari proporsi mereka yang lebih banyak tinggal dalam keluarga – apalagi keluarga merupakan dunia yang begitu dekat dengan anak – maka wajar apabila kenakalan remaja sangat besar kemungkinannya disebabkan oleh kesalahan keluarga dalam mendidik anak. Atau karena kondisi keluarga yang ketahanannya kurang, broken home atau keluarga yang telah pecah di mana ayah dan ibu sebagai suami isteri telah bercerai.
Dugaan ini secara logika sangat masuk akal, mengingat semakin banyaknya kasus kenakalan remaja akhir-akhir ini seiring dengan semakin lemahnya ketahanan keluarga kita. Hasil penelitian LPKGM-FK UGM tahun 2001 lalu di Purworejo, Jawa Tengah, menguatkan dugaan tersebut, karena hasil penelitian menemukan fakta bahwa keluarga sekarang tidak lagi menjadi tempat aman bagi anggotanya karena harmonisasi keluarga yang melemah. Adalah tidak terlalu sulit untuk menyebutkan beberapa contoh ketidakharmonisan keluarga saat ini, seperti tingginya angka perselingkuhan, perceraian, kekerasan terhadap anak dan perempuan serta segudang persoalan lainnya. Dengan demikian, menurut Sara (2004) berbagai bentuk kenakalan remaja yang terjadi belakangan, dapat dijadikan cermin atas melemahnya ketahanan dalam keluarga kita. Karena keluarga yang ketahanannya kuat, maka akan kuat pula dalam mempertahankan keutuhan keluarga dan melindungi setiap anggotanya terhadap gangguan dari luar apapun bentuknya. Selain itu keluarga akan mampu memberi kasih sayang dan kehangatan pada setiap anggotanya sehingga mereka merasa damai dan kerasan tinggal di rumah.
Perlu diketahui bahwa masa remaja adalah masa “ombak dan badai”. Masa ini ditandai dengan berbagai pergolakan jiwa. Seiring dengan perubahan fisik dan psikis, seorang remaja jiwanya akan mudah berkecamuk sehingga dalam pribadi remaja akan timbul berbagai goncangan. Goncangan ini menurut Nursisto (1994) ditandai dengan berkembangnya fantasi yang menggelegak, disusul rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang semula dianggap tabu. Bahkan lalu diikuti oleh timbulnya dorongan untuk mencoba-coba sekaligus mencari berbagai pengalaman. Ini yang menjadikan dunia remaja penuh dinamika dan problematik.
Dalam konteks yang demikian itu, seorang remaja yang memasuki masa puber pasti membutuhkan perhatian dan kasih sayang, kehangatan dan cinta, disamping kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat fisik (Soetjiningsih, 2004). Apabila ini tidak terpenuhi, maka sang remaja akan melakukan apa saja untuk memenuhi keinginannya itu tanpa memikirkan akibat di belakangnya. Itulah sebabnya, mengapa para remaja banyak yang terjerumus dalam perbuatan nista. Karena memang faktor emosi lebih kuat pengaruhnya dari pada nalar maupun logikanya.
Kenakalan remaja saat ini lebih banyak disebabkan oleh karena keluarga sudah tidak mampu lagi menanamkan norma-norma agama pada anggota keluarga khususnya anak. Keluarga juga tidak mampu lagi memberi kasih sayang dan perlindungan pada anak, sehingga mereka merasa tak terlindungi, kehilangan kasih sayang dan cinta. Juga kehilangan keberanian, kepercayaan dan seabreg kehilangan dan ketiadaan lain yang tidak mereka punyai, sekaligus mereka inginkan.
Lihat saja, betapa komunikasi yang hangat antara ayah ibu dan anak-anak semakin menghilang. Mereka terlena dalam kekayaan ekonomi yang sebenarnya akan meracuni anak kandungnya sendiri. Orangtua sekarang sudah terlalu sibuk memburu uang dan kekayaan, karena beranggapan bahwa dengan harta mereka akan dapat membahagiakan anak. Tetapi mereka lupa bahwa anak anak tidak hanya memerlukan kebutuhan materiil saja, melainkan juga kasih sayang, perhatian, dorongan dan orangtua di sisinya. Di kala anak sukses dan berhasil, orangtua harus memberi penghargaan dan pujian. Sebaliknya ketika ia gagal, orangtua perlu memberi dukungan moril supaya anak tidak rendah diri dan merasa tidak berguna. Orangtua harus membantu anak dalam menemukan dan mengatasi kelemahan-kelemahannya supaya ia bangkit dan maju.
Dalam situasi yang serba hemat waktu dan berprinsip “time is money” guna mencari harta sebanyak-banyaknya, menurut Mardiya (2005) telah menyebabkan waktu orangtua tersita penuh dan hampir tidak pernah bertemu anak. Akibatnya fungsi-fungsi keluarga yang terkait dengan keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, fungsi sosialisasi dan keserasian hubungan dengan lingkungan dalam keluarga semakin melemah dan menghilang.
Saat ini sudah banyak kasus, ketidakhadiran orangtua dalam waktu yang agak lama telah menjadi penyebab utama pendidikan anak berantakan dan morat-marit. Belum lagi masalah keagamaan dan nilai-nilai moral yang seharusnya dianut anak juga menjadi semakin kabur. Sehingga sikap menghalalkan cara untuk memperoleh kesenangan menjadi kecenderungan yang mereka pilih. Lebih-lebih kehadiran orangtua yang sesaat mestinya dapat dimanfaatkan untuk memberi perhatian dan kasih sayang, namun sering digunakan untuk membentak-bentak dan memarahi anak yang membuatnya frustrasi, ketakutan yang amat sangat, perasaan rendah diri, tak berguna dan sebagainya. Hal inilah yang menjadi penyebab utama remaja keluar rumah dan mencari “pelarian” dengan cara begadang di jalanan, mulai akrab dengan minuman keras/mabuk-mabukan, ganja, morphin, seks dan kekerasan.
Karena mungkin tidak pernah diketemukan lagi jati diri dan kepercayaan itu, baik dari keluarga maupun lingkungan, maka dengan sengaja atau tidak akhirnya mereka menciptakan gaya hidup tersendiri. Tidak jarang di antara mereka akhirnya menjadi preman jalanan yang berkeliaran di mana-mana dengan segala pikiran, sikap dan perilaku yang destruktif. Berbagai bentuk tindak kekerasan yang menjurus ke kriminalitas, menjadi kebiasaan untuk mencapai segala angan-angan dan cita-citanya yang tidak kesampaian. Oleh karenanya wajar apabila kemudian hidup mereka selalu dekat dengan kekumuhan, ketidakteraturan, seks dan penyakit termasuk HIV/AIDS.
Melihat dari akar masalahnya, upaya mencegah dan menanggulangi kenakalan remaja harus di mulai dari keluarga. Sebagai lingkungan yang pertama dan utama, keluarga harus dibangun agar memiliki ketahanan yang kuat. Ketahanan yang dimaksud adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materiil dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin (Bab I Pasal 1 Ayat 15 UU No 10 Tahun 1992). Caranya adalah melalui pembinaan ketahanan keluarga yang intensif.
Melalui pembinaan ketahanan keluarga yang sungguh-sungguh, menurut Mardiya (2000) keluarga akan menjadi tempat bernaung yang nyaman bagi anak. Disamping itu, merupakan tempat yang baik pula untuk berkreasi dan berprestasi. Terkait dengan itu, menurut Amini (2007) tugas utama dan pertama bagi keluarga adalah menciptakan suasana yang agamis dalam keluarga. Orangtua harus dapat menjadi contoh dan teladan yang baik bagi anak-anaknya dan anggota keluarga yang lain dalam menjalankan ibadah, mentaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh agama, memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan keagamaan, serta bertindak dan berperilaku yang mencerminkan insan penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tugas lain yang perlu dilaksanakan adalah menanamkan dan menumbuhkembangkan rasa mencintai budaya sendiri pada anak sedini mungkin. Sehingga anak memiliki pandangan bahwa budaya nasional tidak kalah baiknya dibanding dengan budaya luar seperti “ngepil” dan “nenggak” atau kehidupan hura-hura yang lain. Dengan demikian nantinya keluarga akan mampu berfungsi sebagai wahana untuk menggali, mengembangkan, dan melestarikan kekayaan sosial budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Tidak dapat diabaikan pula, orangtua (ayah dan ibu) perlu memelihara hubungan yang akrab antar sesamanya dan antara orangtua dengan anak-anaknya. Dan kalau ada perselisihan perlu diupayakan jalan keluar yang bijaksana. Dengan demikian keluarga dapat diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara setiap anggota keluarga, anta kekerabatan serta antar generasi yang merupakan dasar terciptanya keluarga harmonis.
Disamping itu, keluarga harus dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi anak yang memberikan rasa tenteram lahir dan batin, sejak janin dalam kandungan sampai lanjut usia. Fungsi ini dapat dijalankan secara optimal dengan jalan memelihara keutuhan rumah tangga serta memelihara ketahanan keluarga terhadap benturan yang datang dari luar baik yang bersifat sosial budaya maupun ideologi.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah bahwa orangtua harus memberi pengertian dan pemahaman yang benar tentang reproduksi sehat seiring dengan kedewasaan anak-anaknya. Diharapkan dengan pemahaman yang benar, anak-anak tidak sembrono dengan alat-alat seksualnya dan kelak jika sudah berkeluarga/diikat dengan perkawinan yang sah, mereka dapat memberikan keturunan yang berkualitas, sehingga dapat menjadi insan pembangunan yang handal di masa yang akan datang.
Tidak boleh dilupakan, orangtua sebagai penanggungjawab rumah tangga harus mampu pula berperan sebagai contoh, pemberi inisiatif dan pendorong bagi anak dalam menerapkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan kemanusiaan. Sehingga keluarga nantinya dapat berfungsi sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak dalam menumbuhkembangkan kekuatan fisik, mental, sosial, dan spiritual secara serasi, selaras dan seimbang.
Pada sisi lain, keluarga pun perlu menanamkan etos kerja yang tinggi pada setiap anggota keluarga yang diiringi dengan kreativitas yang tinggi pula. Sebab hanya dengan cara demikian, keluarga akan mampu berfungsi secara baik dalam meningkatkan ketrampilan usaha ekonomis produktif sehingga dapat tercapai upaya peningkatan pendapatan keluarga guna mencukupi kebutuhan keluarga.
Sedangkan yang terakhir, keluarga harus mampu menggugah kepedulian segenap anggota keluarga terhadap lingkungan baik sosial budaya maupun alam dengan dipelopori oleh orangtua. Dengan demikian, keluarga pada akhirnya akan mampu menempatkan diri dalam lingkungannya yang dinamis secara secarasi, selaras dan seimbang.
Melalui pembinaan ketahanan keluarga yang diarahkan pada berbagai hal tersebut di atas, dapat diyakini bahwa kenakalan remaja secara perlahan namun pasti akan dapat ditumpas sampai ke akar-akarnya, tanpa harus melalui tindak kekerasan dengan segala resikonya. Karena hanya dengan cara ini anak yang sudah terlanjur nakal akan merasa di “manusia” kan, tidak diasingkan, disingkirkan atau dikucilkan. Dengan demikian nantinya mereka secara berangsur-angsur akan merubah sikap dan perilakunya kembali ke jalan yang benar dan diterima di lingkungan keluarganya. Disamping itu, tentunya mereka akan menjadi manusia yang kembali berpikiran positif/konstruktif yang siap dibina menjadi manusia pembangunan yang handal dan sangat dibutuhkan di negeri ini.

BAB V
PENANGANAN DAN PENCEGAHAN
MASALAH REMAJA

A. Keluarga dan Optimalisasi Tumbuh Kembang Remaja
Kita telah memahami bahwa keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi tumbuh kembang anak remaja, sementara lingkungan sekitar dan sekolah ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak. Keluarga, terutama orangtua merupakan tokoh yang ditiru oleh anak dan remaja, maka seharusnya orangtua memiliki kepribadian yang baik menyangkut sikap, kebiasaan, perilaku dan tata cara hidupnya.
Menurut Michael S Josephson dan Tom Dowd (2003) hubungan antara orangtua dan anak remajanya adalah hubungan antar manusia yang mengemban tanggung jawab moral terbesar. Salah satu tanggung jawab orangtua, baik terhadap anak maupun masyarakat, adalah menanamkan nilai-nilai yang baik, mengajarkan tanggung jawab, serta meningkatkan akhlak yang baik. Tanggung jawab lainnya adalah menjamin kesejahteraan anak, mencurahkan perhatian pada kata-kata dan perbuatan anak, serta memahami perasaan dan kebutuhan anak.
Penyair Kahlil Gibran berkata bahwa orangtua adalah “busur” yang merupakan sarana meluncurkan anak sebagai “anak panah hidup” ke masa depan. Itu artinya, orangtua harus secara sadar memilih nilai-nilai yang akan ditanamkan pada anak, serta mencari peluang dan kesempatan untuk menekankan dan mencontohkan perilaku yang patut diteladani.
Meskipun kita tidak dapat menjamin anak remaja kita akan tumbuh tepat seperti harapan dan keinginan kita, jika kita membesarkan anak dengan nilai-nilai dan kebiasaan positif, dipastikan ia akan menerapkan nilai-nilai dan kebiasaan positif itu pada masa dewasanya serta memberikan sumbangsih terhadap kebaikan masyarakat. Dalam konteks ini, ahli sosiologi Amitai Etzini berkata bahwa orangtua mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat sebagaimana terungkap dalam pernyataannya:
“Mempunyai anak adalah sebuah tindakan moral. Sudah tentu, orangtua berkewajiban terhadap anak. Namun dengan memiliki anak, orangtua mempunyai kewajiban terhadap masyarakat. Kita semua menanggung resiko pengasuhan anak yang buruk… Kenakalan remaja tidak hanya membuat hati orangtua berduka dan pemakai narkoba tidak hanya membuat sedih orangtuanya. Mereka juga merampok orang lanjut usia, toko dsan pompa bensin, dan mengganggu anak-anak yang pulang dari sekolah. Mereka rumbuh menjadi masalah, menguras uang, sumber daya dan kesabaran masyarakat. Sebaliknya, anak-anak yang diasuh dengan baik bukan Cuma menjadi sumber kebahagiaan keluarganya, mereka (ini perlu ditekankan) adalah landasan bagi masyarakat yang sukses dan patut dibanggakan.”
Berbicara tentang keluarga dalam hubungannya dengan tumbuh kembang remaja, masalah pembentukan akhlak dan karakter kepribadian anak menjadi sangat urgen untuk dibahas. Hal ini terkait fungsi keluarga sebagai tempat sosialisasi dan pendidikan anak. Orangtua sebagai pengendali biduk rumah tangga, perlu mengajarkan budi pekerti pada anak remajanya guna menumbuhkan tiga sifat utama:
Pertama, manusia berkarakter mulia yang mempunyai prinsip yang baik. Mereka yakin akan kehormatan, integritas, kewajiban, belas kasih, keadilan dan nilai etika lain. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dikenal dengan istilah Enam Pilar Karakter.
Kedua, manusia berkarakter mulia yang mempunyai nurani yang kuat. Kesadaran nurani adalah semacam kompas moral internal yang membantu anak remaja kita membedakan benar dan salah, sekaligus suara hati yang terus mengingatkan mereka tentang kewajiban moral, serta mendesak agar melakukannya. Kesadaran nurani yang kuat akan memperkukuh penilaian moralnya dengan cara membahas perilaku yang baik dengan perasaan yang baik. Misalnya rasa bangga dan percaya diri. Nurani yang kuat juga menghukum perilaku buruk dengan menimbulkan rasa malu dan bersalah.
Ketiga, manusia berkarakter mulia yang mempunyai keberanian moral, kemauan untuk mendengarkan suara hati nurani dan melakukan hal yang benar, kendati harus menanggung resiko yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, karakter yang mulia juga merupakan kekuatan etika atau moral.
Akhlak atau budi pekerti bukanlah bawaan sejak lahir. Budi pekerti terbentuk dari hari-ke hari, melalui nilai-nilai yang kita terapkan dan jalur pilihan yang kita tentukan. Pada prinsipnya, setiap orang mampu menentukan akhlaknya sendiri. Oleh karena itu, anak remaja kita harus secara sadar dirangsang untuk menentukan pilihan memperkuat akhlak mereka, bukan memperlemahnya.
Di sini menjadi semakin jelas keterkaitan antara keluarga dan tumbuh kembang anak remaja. Karena keluarga adalah lembaga yang pertama dan utama dalam melaksanakan proses sosialisasi dan savilisasi pribadi anak. Di tengah keluarga anak belajar mengenal makan, cinta kasih, simpati, loyalitas, ideologi, bimbingan dan pendidikan. Keluarga memberikan pengaruh menentukan pada pembentukan watak dan kepribadian anak, dan menjadi unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Baik dan buruknya struktur keluarga memberikan dampak baik atau buruknya perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmani anak remaja.
Atas dasar itu, pendidikan moral dan akhlak dalam keluarga seharusnya dilakukan sejak anak masih kecil dengan membiasakan anak pada aturan-aturan dan sifat-sifat yang baik, jujur, adil sesuai dengan taraf perkembangan anak. Dengan pengalaman-pengalaman langsung dan merasakan akibatnya serta contoh orangtua dalam kehidupan sehari-hari, anak belajar bertingkah laku. Selain itu lingkungan keluarga merupakan penghubung pertama daripada nilai-nilai moral yang terdapat dalam masyarakat.

B. Peranan Orangtua dalam Penanganan dan Pencegahan Masalah Remaja
Dalam lingkungan keluarga, orangtua (baca: Ayah dan Ibu) merupakan figur yang sangat berpengaruh terhadap seluruh anggota keluarga yang ada didalamnya, terutama anak (baik balita maupun anak remaja). Hal ini terkait dengan peran dan fungsi orangtua dalam pengasuhan dan pembinaan anak, yaitu: (1) orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak, (2) orang tua adalah pelindung utama bagi anak, (3) orangtua adalah sumber kehidupan bagi anak, (4) orangtua adalah tempat bergantung bagi anak, dan (5) orangtua adalah sumber kebahagiaan bagi anak.
Memahami betapa pentingnya peranan dan fungsi orangtua bagi pengasuhan dan pembinaan terhadap tumbuh kembang, sudah sewajarnya bila orangtua memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pengembangan diri anak. Orangtua harus mampu “belajar” dan terus belajar untuk dapat melaksanakan peran dan fungsinya itu.
Kaitannya dengan pengembangan diri anak secara umum, orangtua memiliki peranan yang sangat besar dalam lima hal, yakni: (1) memelihara kesehatan fisik dan mental anak, (2) meletakkan dasar-dasar kepribadian anak yang baik, (3) membimbing dan memotivasi anak untuk mengembangkan diri, (4) memberikan fasilitas yang memadai bagi pengembangan diri anak, dan (5) menciptakan suasana yang aman, nyaman dan kondusif bagi pengembangan diri anak.
Mengasuh dan membina anak remaja pada hakekatnya adalah pemberian kasih sayang, rasa aman sekaligus menanamkan disiplin dan contoh yang baik. Sebagai pengasuh, orangtua harus mengetahui dan memahami kelebihan maupun kelemahan masing-masing anak. Anak remaja harus dilatih supaya bisa mengendalikan diri, cara mengekspresikan perasaannya tidak mengganggu atau menyusahkan orang lain serta dirinya, bersikap santun dan tahu tata krama.
Menurut Wiwik Toyo Santoso Dipo, dkk (2007) paling tidak ada sebelas prinsip yang harus dipegang para orangtua dalam mengasuh dan membina anak termasuk anak remaja. Kesebelas prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari
Orangtua perlu mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak remaja dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa landasan agama yang cukup, anak remaja akan sangat rawan menghadapi godaan terhadap perilaku dan kebiasaan buruk dari luar yang tidak sesuai kaidah dan budaya timur serta nilai-nilai moral keagamaan.
2. Kasih sayang
Kasih sayang orangtua pada anak remaja harus ditunjukkan secara wajar tanpa berlebihan. Ini harus dibedakan dengan kasih sayang yang diberikan pada anak yang masih kecil. Kebiasaan memeluk, mencium, dan memuji anak harus semakin dibatasi agar anak tidak menjadi manja. Kata-kata yang bersifat menghibur dan meneguhkan perlu terus diberikan orangtua pada anak remaja saat mereka sedang susah, karena dengan perasaannya yang sensitif, anak remaja menjadi mudah tersinggung dan putus asa saat menghadapi masalah.
3. Disiplin
Penanaman disiplin pada anak remaja sangat diperlukan agar sang anak pada saat dewasanya nanti mampu menyesuaikan diri dengan norma dan aturan di masyarakat.
Ada 10 Kunci yang dapat diterapkan orangtua agar dapat menanamkan sikap disiplin pada anak remaja secara optimal:
a. Konsisten, artinya ada kesepakatan antara ayah dan ibu sehingga setiap tindakan dalam menanamkan disiplin tidak berubah.
b. Jelas, artinya orangtua harus memberikan aturan yang jelas berikut sanksi yang mungkin harus ditanggung oleh anak remaja bila melakukan pelanggaran (bisa saja aturan tersebut berdasarkan kesepakatan dengan anak), sehingga sang anak dapat memahami tersebut dan menjauhkan diri dari keinginan melanggar.
c. Memperhatikan harga diri anak, artinya jangan menegur anak yang sudah remaja dihadapan orang lain. Karena hal ini akan membuat anak kita yang sudah remaja merasa malu yang justru akan mendorong anak remaja tetap bandel bahkan mendendam.
d. Beralasan dan dapat dimengerti, artinya alasan dari tata tertib yang dilakukan itu perlu dijelaskan kepada anak, sehingga anak remaja kita melakukannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
e. Memberi hadiah, artinya bila remaja kita berbuat sesuai harapan perlu diberikan pujian atau sanjungan yang dapat membuat sang anak tumbuh rasa percaya dirinya.
f. Hukuman, artinya dalam kondisi atau situasi tertentu dapat saja orangtua dapat memberikan hukuman atau sanksi pada anak remaja, asalkan jangan sampai menyakiti fisik dan jiwa anak. Harus diingat bahwa anak remaja kondisi kejiwaannya sedang labil sementara emosinya sering mudah meledak. Maka penerapan hukuman harus disertai dengan penjelasan yang logis sehingga menumbuhkan kesadaran pada anak remaja bahwa ia memang pantas menerima hukuman itu.
g. Luwes, artinya jangan terlalu kaku dalam menegakkan disiplin, sesuaikan dengan kondisi dan situasi anak remaja dengan beberapa pertimbangan di atas.
h. Keterlibatan anak, artinya sebaiknya anak remaja dilibatkan dalam membuat tata tertib.
i. Bersikap tegas, artinya tidak bersikap kasar pada anak yang sudah remaja, baik dalam tindakan fisik maupun perkataan.
j. Jangan emosional, artinya dalam menghukum anak remaja harus dihindari emosi yang berlebihan.
4. Meluangkan waktu untuk kebersamaan
Hal ini perlu ditunjukkan orangtua pada remaja dalam bentuk sering bertemu, berbincang-bincang bersama, saling mengabarkan satu sama lain dan dalam waktu tertentu mungkin dapat saja pergi bersama.
5. Membedakan antara yang baik dan buruk
Penanaman nilai-nilai moral baik dan buruk, berlaku ramah, sopan, tidak menyakiti atau mengganggu hak milik orang lain, pada anak remaja sangat diperlukan walaupun ini dalam bentuk pemantapan karena nilai-nilai itu sudah harus ditanamkan pada anak sejak balita.

6. Saling menghargai
Orangtua perlu menciptakan suasana saling menghargai satu sama lain. Misalnya bila orangtua berbuat salah, jangan segan untuk segera minta maaf. Orangtua juga perlu mendorong anak remaja agar dengan kesadaran sendiri mnenghargai orang tua, demikian juga sebaliknya.
7. Memperhatikan dan mendengar pendapat
Anak remaja sangat membutuhkan pengakuan dari orang lain termasuk orangtua. Oleh karena itu, orangtua perlu mendengarkan pendapat anak tanpa dipengaruhi oleh pendapatnya.
8. Membantu mengatasi masalah
Orangtua diharapkan dapat memahami masalah yang dihadapi anak remaja seseuai dengan sudut pandangnya dan memberikan beberapa pendapat serta dorongan untuk memilih yang sesuai dengan keadaannya.
9. Melatih mengenali diri dan lingkungannya
Ajaklah anak remaja untuk memahami dirinya, perubahan-perubahan yang terjadi baik fisik maupun non fisik. Anak remaja juga perlu dilatih untuk mengenal emosi dan cara menyalurkan emosi yang baik agar tidak menyakiti diri sendiri maupun orang lain.
10. Mengembangkan kemandirian
Orangtua perlu merangsang inisiatif anak remaja serta memeberikan kebebasan pad mereka untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatrnya.
11. Memahami keterbatasan
Jangan membandingkan anak yang satu dengan anak yang lainnya, terlebih anak yang sudah remaja. Karena hal itu akan menyakitkan hati mereka, manakala penilaian yang kita berikan tidak sesuai dengan keinginannya.
Peran orangtua dalam tahapan perkembangan anak dapat dikelompokkan pada lima tahapan yang mana peran orangtua perlu disesuaikan dengan tahapan umur sang anak sebagai berikut: Pertama, tahap menyuapi (0-2 tahun), orangtua mengerjakannya buat anak; Kedua, tahap mengontrol (2-10 tahun), orangtua mengatur dan mengendalikan kehidupan anak sampai ke hal-hal yang sekecil-kecilnya; Ketiga, tahap menuntun (10-14 tahun), orangtua mulai memberi keleluasaan yang lebih besar bagi anak dalam menentukan pilihannya; Keempat, tahap memberi saran-saran dan nasehat (14-18 tahun), orangtua membolehkan anak menentukan serndiri hampir semua pilihannya; Kelima, tahap mempedulikan atau memperhatikan (18 tahun atau lebih), orangtua memantau kehidupan anak.
Sebenarnya tugas rutin telah selesai pada usia ini. Perhatian dan peran orangtua kepada anak sewaktu menginjak masa remaja sering mendapatkan benturan bila orangtua memperlakukan anak sama dengan usia sebelumnya. Pada masa remaja, sang anak sedang mengalami sekaligus perubahan fisik dan emosi yang disebut masa puber. Perubahan pesat dalam masa pubertas ini menimbulkan berbagai masalah remaja di mana peran orangtua sebagai penuntun dan pemberi nasehat sangat penting dalam perkembangan emosi anak.
Dengan demikian, mengasuh dan membina anak dalam konteks tumbuh kembang anak remaja, memiliki nilai yang strategis dan penting. Karena mengalui pengasuhan dan upaya pembinaan yang baik, anak remaja yang telah mendapat fondasi pendidikan yang benar di masa balita akan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat jiwa dan raganya. Atas dasar itu orangtua, orangtua diharapkan mampu menangani dan mencegah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh anak remaja.
Menurut Dr. Erlina Sutjiadi, SpKJ (K), era modern yang ditandai dengan besarnya pengaruh dari perkembangan teknologi yang semakin canggih (Televisi, Video, Internet, dsb) telah memberikan dampak negatif bagi perkembangan anak remaja disamping dampak positifnya. Dampak riil yang ditimbulkan adalah beragamnya masalah psikososial anak remaja yang semakin mencemaskan seperti penyalahgunaan narkotika, perilaku seksual yang terbuka dan menyimpang, kehidupan malam dan sebagainya.

Masalah yang timbul umumnya muncul karena konflik dalam diri anak remaja sendiri karena tuntutan perkembangan untuk mencari identitas diri maupun konflik dengan lingkungan (orangtua, masyarakat) karena tidak siap menerima perubahan yang terjadi pada remaja. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh: (1) faktor biologi/genetik, konstitusional; (2) pola asuh orangtua sewaktu anak pra remaja dan faktor psiko-edukatif; (3) kematangan kepribadian yang telah mampu dicapai anak waktu memasuki masa remaja; (4) kesiapan remaja menghadapi tantangan pengaruh teman sebaya dan pengaruh transisi budaya akibat globalisasi; dan (5) bagaimana remaja mengisi waktu luang mereka.
Secara prinsip, orangtua sangat penting perannya dalam membantu anak remaja untuk mencari identitas diri. Bila ini tidak berhasil dilakukan dengan baik oleh para orangtua, maka akan membawa efek pada remaja berupa: kecemasan, kesulitan belajar, menarik diri, depresi, kebingungan, gangguan perilaku (berkelahi, tawuran, melanggar hukum), ketergantungan narkotik dan zat adiktif, serta lain-lain gangguan jiwa dari ringan sampai berat.
Sehubungan dengan itu ada empat upaya dasar yang perlu dilakukan oleh para orangtua dalam menangani dan mencegah permasalahan remaja:
Pertama, orangtua harus mendukung anak untuk menemukan dirinya. Istilah mendukung di sini bukan hanya berarti hal-hal yang bersifat fisik materiil, tetapi juga dukungan moril.
Kedua, orangtua harus mampu menciptakan suasana aman dan nyaman dengan mengembangkan lima sikap dasar: (1) menerima anak remaj apa adanya, (2) memberi perhatian dan menghargai anak remajanya, (3) memberi kepercayaan pada anak remajanya, (4) tegas terhadap tingkah laku yang tidak benar, (5) melatih mandiri.
Ketiga, orangtua (ayah ibu) harus “sejalan” dalam mendidik anak remaja. Maksud sejalan disini tidak ada perbedaan konsep dan model pembinaan terhadap anak, sehingga sikap kedua orangtua terhadap anak pada saat anak berperilaku tidak benar/menyimpang adalah sama sehingga tidak membingungkan anak.
Keempat, orangtua harus memberi kesempatan kepada anak remajanya untuk mengungkapkan perasaannya dan orangtua harus mau mendengarkan dan mengerti permasalahannya.

C. Model Pengasuhan dan Pembinaan Anak remaja
Model pengasuhan dan pembinaan orangtua terhadap anak remaja menjadi salah satu faktor penting dalam penanganan dan pencegahan masalah yang terjadi pada remaja. Model pengasuhan dan pembinaan yang tidak tepat, tidak akan menyelesaikan masalah yang terjadi pada remaja, bahkan sebaliknya akan memperparah persoalan yang ada. Model pengasuhan atau pola asuh ini menjadi cerminan dari sikap dan perilaku orangtua terhadap anaknya yang merupakan hasil interaksi terus menerus antara orangtua dan anaknya.
Menurut Hausser, dkk, ada dua model dasar pengasuhan dan pembinaan anak remaja yang dilakukan oleh para orangtua:
Pertama, model pengasuhan dan pembinaan enabling. Model pengasuhan dan pembinaan orangtua yang termasuk enabling dicirikan dengan mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi anak remaja, turut membantu dalam pemenuhan rasa ingin tahu anak, memberikan kesempatan untuk mengemukakan pandangan serta memberikan pertimbangan tentang masalah-masalah yang dihadapi. Kemudian menghargai pandangan dan keputusan anak remaja, serta memberi peluang pada anak untuk tidak sungkan bertanya, bertukar pendapat, belajar dan berlatih mencari berbagai alternatif pemecahan masalah yang berkaitan dengan masalah yang dihadapinya. Apabila anak merasa dihargai pendapatnya atau keputusannya, anak akan merasa bertanggung jawab atas keputusan yang ditetapkannya. Dengan demikian pola pengasuhan enabling akan mendukung anak remaja untuk memiliki komitmen dan tanggung jawab.
Kedua, model pengasuhan dan pembinaan contraining. Pola pengasuhan contraining ditandai dengan sikap tidak memberikan peluang pada anak remaja untuk belajar menyelesaikan masalah sendiri, tidak terlibat dalam pencarian informasi dan tidak memberikan informasi yang jelas apabila terdapat perbedaan pandangan dalam masalah keluarga. Selanjutnya tidak menghargai pendapat anggota keluarga, suka memberikan penilaian yang berlebihan atau merendahkannya. Dengan perlakukan-perlakuan tersebut anak merasa sungkan untuk bertanya, menerima pendapat, merasa dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah, merasa tidak dihargai pendapat maupun keputusannya. Dengan demikian pola pengasuhan contraining akan menghambat kelancaran anak remaja dalam membangun jati diri maupun komitmen yang kuat berkaitan dengan sikap dan perilaku sehari-hari.
Sementara Lazarus (1961) membedakan pola asuh dan pembinaan pada anak remaja dalam bentuk tiga sikap utama:
Pertama, sikap menerima. Orangtua memiliki hubungan yang mendalam dengan anak remajanya. Anak dilindungi dan dibimbing agar hidup bahagia. Orangtua berusaha membantu dan mengerti kesulitan anak, memberi kebebasan anak untuk menyatakan pendapatnya serta keinginannya sehingga anak dapat berkembang dengan baik.
Kedua, sikap menolak. Orangtua memilikio sikap bermusuhan dengan anak remajanya, tidak ada rasa kasih sayang, tidak ada perhatian, suka mengkritik, orangtua berusaha menguasai anak, terlalu menuntut, sering menghukum, sering timbul konflik antara anak dengan orangtua.
Ketiga, sikap terlalu melindungi. Orangtua selalu mengabulkan permintaan anaknya, anak selalu diperlakukan seperti anak kecil tanpa diberi tanggung jawab.
Sedangkan Hurlock membedakan tiga macam sikap (polaasuh) orangtua terhadap anak termasuk anak remajanya sebagai berikut:
Pertama, sikap (pola asuh) otoriter dengan ciri : (1) orangtua menentukan tentang apa yang perlu diperbuat oleh anak remaja, tanpa memberikan penjelasan tentang apa alasannya; (2) apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan, anak tidak diberikan kesempatan untuk menberikan penjelasan; (3) pada umumnya hukuman berbentuk hukuman badan; (4) orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah baik kata-kata atau bentuk lain.
Kedua, sikap atau pola asuh demokratis, dengan ciri: (1) apabila anak remaja harus melakukan suatu aktivitas, orangtua memberikan penjelasan tentang perlunya hal tersebut dilaksanakan; (2) anak remaja diberikan kesempatan untuk memberikan alasdan mengapa ketentuan itu dilanggar sebelum menerima hukuman; (30 hukuman diberikan berkaitan dengan perbuatannya, berat ringannya hukuman tergantung pada pelanggarannya, (40 hadiah atau pujian diberikan orangtua.
Ketiga, sikap (pola asuh) permisif, dengan ciri: (1) tidak ada aturan yang diberikan oleh orangtua, anak remaja diperkenankan berbuat sesuai apa yang dipikirkan; (2) tidak ada hukuman, karena tidak ada ketentuan atau peratutan yang dilanggar; dan 93) ada anggapan bahwa anak remaja akan belajar dari tindakannya yang salah.
Dari beberapa model pengasuhan dan pembinaan anak remaja yang dipaparkan di muka, model pengasuhan dan pembinaan yang demokratis (enabling menurut Hausser, menerima menurut Lazarus) adalah yang paling ideal untuk anak remaja.
Berdasarkan penelitian Erny Trisusilaningsih (2006), model pengasuhan dan pembinaan anak yang demokratis, akan menumbuhkan sikap dan perilaku yang positif pada anak seperti: kematangan jiwa baik, emosi stabil, memiliki rasa tanggung jawab yang besar, mudah berkerja sama dengan orang lain, mudah menerima saran orang lain, mudah diatur dan taat aturan atas kesadaran sendiri.
Sementara model pola asuh yang lainnya akan cenderunga menghasilkan anak remaja dengan ciri kurang matang, kurang kreatif dan inisiatif, tidak tegas dalam menentukan baik buruk, benar salah, suka menyendiri, kurang supel dalam pergaulan, ragu-ragu dalam bertindak atau mengambil keputusan karena takut dimarahi. Atau mungkin justru anak remaja akan menunjukkan gejala cenderung terlalu bebas dan sering tidak mengindahkan aturan, kurang rajin beribadah, cenderung tidak sopan, bersikap agresif, sering mengganggu orang lain, sulit diajak bekerja sama, sulit menyesuaikan diri dan emosi kurang stabil.
Selanjutnya berdasarkan Sumarwi Astuti (2008) dapat diketahui bahwa pola asuh orangtua yang bersifat demokratis akan membawa kecenderungan anak pada perilaku sebagai berikut: (1) Selalu mempunyai kepercayaan diri (56,67%); (2) Tidak mudah putus asa (63,33%); (3) Tidak pernah menentang (66,67%); (4) Tidak cengeng, tidak pernah menyendiri (60,00%); (5) Tidak pernah melanggar aturan (60,00%); (6) Tidak pernah mengatur dan dapat menyesuaikan diri.
Sementara orangtua dengan pola asuh yang bersifat otoriter akan membawa kecenderungan anak pada perilaku: (1) Kurang percaya diri (23,33%); (2) Kadang-kadang putus asa (16,67%); (3) Kadang-kadang menentang (13,33%); (4) Kadang-kadang cengeng (23,33%), (5) Kadang-kadang menyendiri (23,33%); (6) Kadang-kadang melanggar aturan (20,00%), (7) Kadang-kadang mengatur teman (23,33%); dan (8) Kurang dapat menyesuaikan diri dengan teman/lingkungannya (20,00%)
Sedangkan orangtua dengan pola asuh permisif akan membawa kecenderungan anak pada perilaku: (1) Tidak percaya diri (30%); (2) Mudah putus asa (20,00%); (3) Mudah menentang (20%); (4) Mudah menangis (23,33%); (5) Suka menyendiri (16,67%); (6) Suka melanggar aturan (20,00%); (7) Suka mengatur orang lain (200%); (8) dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan oranglain (26,67%).
Mendasarkan pada hasil penelitian tersebut, maka disarankan orangtua dapat memilih pola asuh yang demokratis pada anaknya, karena akan membawa dampak positif terhadap perkembangan jiwa dan perilaku anak ke arah yang lebih baik.

BAB VI
MEMBANGUN REMAJA MASA DEPAN

Abad 21 atau sering disebut zaman global telah berjalan begitu cepat dengan ditandai lajunya ilmu pengetahuan, teknologi, industri dan informasi. Batas-batas wilayah negara semakin kabur, sehingga kebiasaan, adat istiadat dan budaya asing masuk ke negara kita hampir tanpa ada filter. Ini semua jelas akan sangat mempengaruhi kehidupan kita, yang akan membawa dampak positif, di samping juga banyak dampak yang sangat negatif. Kita memang tidak bisa lari dari realitas seperti ini. Oleh karena itu, ketakutan menghadapi realitas zaman bukan menjadikan kita semakin maju, tetapi justru akan membawa manusia semakin tergilas oleh kenyataan zaman. Modernisasi kehidupan bukan untuk kita hindari, akan tetapi untuk kita hadapi. Ketakutan kita menghadapi keadaan ini akan menjadi muara ketidamampuan kita untuk menatap masa depan yang lebih baik. Jadi, kita dituntut untuk mampu menghadapi realitas ini dan mampu berada ditengah-tengah kehidupan.
Menurut Said Agil Munawar (2002) ada tiga isu sentral menyangkut remaja, yaitu: Pertama, Musibah dan problematika terbesar bangsa Indonesia ini adalah menyangkut tentang moralitas dan akhlak bangsa terutama di kalangan remaja. Kedua, Remaja kehilangan figur yang menjadi dambaannya akhirnya bermuara sulitnya mewujudkan kepribadian remaja. Ketiga, Informasi global bukan semakin menigkatkan Iman dan Takwa remaja tetapi lebih banyak menjerumuskan remaja ke jurang kenistaan yang lebih dalam.
Disinilah makna pentingnya membangun remaja generasi penerus kita untuk siap menghadapi berbagai persoalan yang menghadang, dan tampil sebagai generasi masa depan yang berkualitas dengan sifat, sikap dan perilaku yang terpuji sehingga sangat dibutuhkan kontribusinya dalam membangun bangsa dan negara.
Menurut Elizabet B. Hurlock (1992) masa remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak menuju perkembangan masyarakat dewasa, masa di mana ia tidak lagi merasa di bawah tigkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada tingkat yang sama. Masa remaja merupakan masa bermasalah, mencari identitas diri, yang menimbulkan ketakutan, dan ambang kedewasaan.
Masa remaja adalah masa yang sangat tepat untuk membangun masa depannya. Kegagalan membangun masa depan pada masa remaja akan berakibat fatal dalam mengarungi masa dewasanya. Menurut M. Al Ghazali (2007), bahwa ada beberapa tipe manusia dalam menghadapi masa depannya. Ada orang yang menjalani kehidupan dengan tekad kuat, penuh optimisme, tidak tunduk dan tidak dikendalikan oleh keadaan disekelilingnya, betapapun buruknya. Tetapi ada juga orang yang serba mengeluh, pesimisme, selalu menyerah dengan keadaan disekitarnya.
Orang yang memiliki tekad kuat, optimis, dan tidak pernah terperdaya dengan lingkungan sekitarnya, dan memiliki keteguhan dalam bersikap adalah orang yang mampu mengahadapi perubahan zaman dalam kondisi apapun. Ibarat seperti benih-benih bunga yang ditanam di bawah gundukan tanah yang subur, tumbuh subur ke atas menyambut datangnya sang surya dengan memberikan baunya yang semerbak.
Inilah sebuah gambaran orang yang mampu menguasai diri dan waktunya dengan sebaik mungkin, maka ia dapat berbuat banyak tanpa menunggu datang bantuan dari luar dirinya. Karena dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, yang tersimpan dalam jiwanya yang bersih, dan memiliki pendirian yang kokoh, ia tetap mampu membangun sebuah kehidupan yang cemerlang bagi masa depannya walaupun kesempatan terbatas dan persaingan sangat tajam.
Pertanyaannya adalah, bagaimana membangun masa depan manusia dengan sikap yang optimis dan tetap memiliki kepribadian? Muhamad Al Ghazali (2007) memberikan sebuah langkah yang mampu menyadarkan diri manusia terutama para remaja terhadap masa depannya. Namun dengan landasan agama yang kuat masa depan bukan hanya sekedar hidup di dunia tetapi juga kehidupan pasca kebangkitan. Adapun langkah-langkah dalam membangun remaja yang berkepribadian, yaitu:
Pertama, Memulai dengan membersihkan diri dari berbagai penyakit, kotoran, dan beban dalam kehidupannya. Mengutip pendapat Ibnu Qayyim Al Jauziyah bahwa penyebab utama tumbuhnya bibit keputusasaan, kesedihan, tidak siap menghadapi masa depan adalah keterkungkungan manusia dari berbagai kemaksiatan dan kesalahan-kesalahan. Semakin lama manusia berbuat maksiat semakin kuat ketakutan yang ada dalam kehidupan ini. Sehingga manusia akan terasa sempit dalam hidupnya, hatinya selalu gelisah, dan wajahnya selalu tampak muram. Pada awal mula manusia melakukan dosa, kemaksiatan akan terasa nikmat, tetapi kenikmatan itu hanya sebentar saja. Segalanya akan berubah dengan cepat seiring dengan berlalunya waktu. Kelak dosa-dosa akan membuat malapetaka dalam dirinya, membuat keragu-raguan, menggelapkan pikirannya dan mengeraskan hatinya. Berdasarkan hal tersebut M. Jabir al Jazairi (2003) mengatakan, bahwa kunci dimulainya kehidupan baru dalam membangun masa depan adalah manusia harus bertaubat, membersihkan diri dari berbagai dosa, kesalahan, kemaksiatan dan perilaku-perilaku yang menyesatkan. Karena dengan membersihkan diri dari perilaku dosa, kesalahan akan mengembalikan manusia pada fitrahnya. Dan jalan fitrah menurut Ary Ginanjar (2004) akan membimbing manusia menuju jalan yang benar.
Kedua, Menumbuhkan kesadaran, bahwa hidup kita dibentuk oleh pikiran kita sendiri. Kebahagiaan, kesengsaraan, kecemasan, dan ketenangan muncul dalam diri kita sendiri. Diri kita yang akan memberikan warna dalam kehidupan ini. Kebenaran berpikir akan mengarahkan kepada kebenaran dalam menentukan sikap, sebaliknya kesalahan dalam berpikir akan menjerumuskan. Menumbuhkan kesadaran dalam diri ini dalam bahasa agama sering disebut dengan niat, karena hakikat dari perilaku manusia sangat tergantung dari niatnya. Muhammad Al Ghazali mengutip pendapat Dale Carnegie, bahwa pikiran kitalah yang membentuk pribadi kita. Dan arahan pikiran kita adalah faktor utama yang menentukan perjalanan hidup kita. Selanjutnya beliau mengutip perkataan Emerson, beritahukanlah kepada saya tentang apa yang ada dalam pikiran seseorang, maka saya akan memberitahukan kepada anda, siapa dia sebenarnya. Hal ini menunjukkan, bahwa tindakan seseorang sangat bergantung dengan alam pikirannya. Setiap orang diberikan kebebasan untuk memilih responnya sendiri. Ia bertanggung jawab penuh atas pikirannya sendiri. Bagaimana membangun pikiran yang baik? Kita adalah raja dari pikiran kita sendiri. Maka seseorang dituntut memiliki prinsip hidup yang kuat, yang lebih baik, karena hal itu akan melindungi pikirannya. Ia mampu memilih respon positif di dalam lingkungannya. Ia akan tetap berpikiran positif, terdorong untuk maju, memiliki sikap terbuka, saling percaya, dan kooperatif. Hal inilah yang menurut Ari Ginanjar (2004) disebut Aliansi cerdas.
Ketiga, tumbuhkan semangat dalam hidup dan hilangkan kecemasan. Dr. Harold C. Habein salah seorang dokter dari Amerika pernah menyodorkan kertas kerja, bahwa berdasarkan penyelidikannya terhadap 176 orang ternyata lebih dari sepertiga terkena penyakit ketegangan, kecemasan. Ketegangan dan kecemasan bagi remaja bisa disebabkan karena permasalahan yang dihadapinya, kerisauan terhadap masa depannya, kehilangan kesempatan, dan mungkin juga karena hubungan terhadap orang lain yang akibatnya menjadi penyakit dalam fisiknya. Kecemasan akan dapat hilang atau minimal berkurang dapat diatasi dengan, menanyakan pada diri sendiri akibat paling buruk yang mungkin terjadi, bersiap-siap untuk menerima kenyataan, dan bertindak tenang untuk memperbaiki kondisi yang terburuk sekalipun (Muhammad Al Ghazali: 2007). Bahwa orang yang dapat mengatasi rasa cemasnya dalam menghadapi setiap krisis, serta memiliki pandangan menyeluruh terhadap apa yang berada disekitarnya, dialah yang sebenarnya yang akan mendapat kemenangan. Orang yang takut miskin hakekatnya dia berada dalam kemiskinan, orang yang takut hina dia sudah berada dalam kehinaan, orang takut tidak punya kesempatan sesungguhnya dia berada dalam kesempitan. Sehingga menurut ahli filsafat cina Lin Yu Tang yang dikutip Muhammad Al Ghazali (2007) dia mengatakan; kedamaian jiwa yang sejati adalah datang dari keikhlasan menerima akibat paling buruk sekalipun.

Manusia yang berkualitas adalah manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dalam konteks ini adalah menyadari sepenuhnya bahwa di balik kekuasaan yang ada pada manusia ini ada kekuasaan yang lain yang maha besar yang menciptakan dan menguasai segala segi dari hidup dan kehidupan ini, baik terhadap dirinya, masyarakatnya, dan alam sekitarnya. Ia menjauhkan dari dari perbuatan yang buruk yang merusak diri dan lingkungannya. Ia akan selalu terdorong untuk melakukan perbuatan yang baik.
Menurut Said Agil Munawar (2002) beriman dan bertakwa akan dapat menciptakan daya tahan yang memungkinkan mampu menghadapi dampak negatif yang terbawa dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keimanan dan ketakwaan akan menjiwai, menggerakkan, mengendalikan, dan menjadi landasan spiritual dalam menatap masa depan.
Perasaan seorang yang beriman dan bertakwa akan melihat dunia ini akan semakin luas, akan semakin optimis, karena semua dalam kendali Tuhan yang Maha Esa. Namun keimanan dan ketaqwaan harus diaplikasikan dalam kehidupan. Sebab iman ketaqwaan seseorang yang tidak diaplikasikan dalam kehidupan tidak akan sempurna.
Bentuk aplikasi iman dan taqwa tersebut adalah: Pertama, memiliki keyakinan yang kuat terhadap kekuatan besar di luar diri manusia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini harus menjadi sumber dari berbagai aktivitas. Wujud dari keyakinan pada Tuhan adalah selalu berhati-hati, optimis, dan selalu memikirkan kemungkinan yang tidak terduga; Kedua, melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal ini berarti orang yang beriman dan bertaqwa selalu gemar dalam beribadah dan menjadikan ibadah sebagai bagian dari aktivitas hidupnya; Ketiga, memiliki akhlak yang mulia.
Dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat sekaligus persaingan hidup yang semakin ketat seiring dengan dimasukinya era globalisasi, kedudukan dan peran remaja sebagai generasi penerus bangsa sangat vital. Ketidakmampuan remaja dalam membangun dirinya menjadi insan berkualitas, jelas akan memburamkan masa depan bangsa karena tidak kuat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena itu, bangsa yang tidak ingin eksistensinya dimasa depan tergoyah, harus membangun remajanya agar siap untuk mendukung pembangunan.
Agar siap mendukung pembangunan, remaja Indonesia harus memiliki 13 sifat dasar:
1. Iman dan Taqwa
Iman dan taqwa menjadi bekal agar berhati-hati dalam bertindak. Berperilaku penuh perhitungan dilihat dari sisi baik buruknya, kemanfaatannya bagi diri pribadi, orang lain, masyarakat, bangsa dan hubungannya dengan posisinya dia sebagai makhluk Tuhan.
2. Mandiri
Mandiri artinya mampu berdikari, tidak terlalu tergantung pada orang lain. Remaja yang mandiri adalah remaja yang mampu mengatasi persoalan-persoalan hidupnya yang berlandaskan pada kekuatan diri dan kemampuan diri. Dengan demikian, kemandirian dapat dijadikan kunci untuk bekal menjadi remaja yang memiliki kepercayaan diri yang kuat.
3. Cerdas
Cerdas artinya memiliki kemampuan berpikir yang cepat dan tepat. Kecerdasan umumnya didapatkan dari proses belajar yang tekun, terus menerus dan berkesinambungan. Dan semuanya ini hanya akan diperoleh melalui pendidikan yang efektif baik formal maupun non formal. Dengan menjadi remaja yang cerdas, maka akan cerdas pula cara atau strategi yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi.
4. Trampil
Trampil itu menyangkut kemampuan motorik seseorang. Remaja yang trampil adalah remaja yang mampu memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya untuk melakukan kegiatan/pekerjaan yang produktif sehingga dapat meningkatkan kehidupan dan penghidupannya.
5. Kreatif
Kreatif artinya banyak cara. Remaja yang kreatif memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang lain dari biasanya, tetapi memiliki nilai kemanfaatan atau kualitas yang lebih. Dengan demikian remaja yang kreatif tidak akan pernah kekurangan akal untuk berprestasi dalam bidang yang digelutinya.
6. Inovatif
Inovatif artinya mampu menciptakan sesuatu yang baru, dan yang diciptakan itu memiliki manfaat bagi dirinya, orang lain maupun masyarakat sekitarnya.
7. Informatif
Informatif artinya bersifat terbuka dan mampu menyampaikan pesan-pesan yang diterimanya kepada orang lain. Dapat mengkomunikasikan gagasan, pikiran dan pendapatnya secara efektif sehingga orang lain dapat memahami maksudnya. Remaja yang informatif sangat dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang berwawasan dan berpengetahuan luas, mengingat remaja adalah pembaharu kehidupan.
8. Jujur
Sifat jujur bagi remaja masa depan adalah sangat mutlak. Karena mereka adalah calon pemimpin bangsa, sehingga kejujuran menjadi kunci untuk menjadi pemimpin yang mampu membawa kemajuan dan kejayaan bangsa di kemudian hari. Sekarang ini sudah banyak contoh bahwa ketidakjujuran pejabat dan pemimpin negeri ini telah menyebabkan banyaknya kasus korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah yang sebenarnya akan bermanfaat besar bila digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
9. Amanah
Amanah artinya dapat dipercaya. Remaja yang amanah artinya remaja yang berusaha sepenuh hati menjaga apa yang dititipkan/dipesankan oleh orang lain. Remaja yang amanah akan selalu menjalankan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dengan sekuat tenaga, tidak mudah pengaruhi oleh hal-hal yang bersifat negatif.
10. Mampu bersaing
Mampu bersaing artinya memiliki kemampuan untuk berkompetisi. Dan ini tentu saja harus didukung oleh kemampuan dan ketrampilan yang memadai. Remaja yang mampu bersaing tentu akan memiliki posisi tawar yang tinggi, sehingga lebih mudah mencari pekerjaan, menciptakan produk yang bermutu, serta memiliki kualitas pribadi yang dapat diandalkan.
11. Memiliki jiwa sosial yang tinggi
Remaja masa depan selain memiliki berbagai kemampuan yang dapat diandalkan, juga harus memiliki jiwa sosial yang tinggi yang ditunjukkan dengan kepeduliannya terhadap orang lain, memiliki jiwa empati yang kuat dan memiliki jiwa penolong.
12. Memiliki jiwa pengorbanan
Jiwa pengorbanan umunya dikaitkan dengan materi, namun jiwa pengorbanan yang harus dimiliki oleh remaja masa depan adalah jiwa mau berkorban bukan semata-mata materi, tetapi juga tenaga, waktu, pikiran dan jiwanya demi kemaujuan masyarakat dan bangsanya.
13. Bertanggungjawab
Bertanggung jawab artinya mau mempertanggungjawabkan segala perbuatannya meskipun dengan resiko yang tidak menyenangkan. Remaja yang bertanggung jawab adalah remaja yang memikirkan akibatnya sebelum bertindak, dan mau mempertanggungjawabkan perbuatannya bila melakukan kesalahan. Remaja yang bertanggung jawab adalah idealisme remaja dsi masa depan, karena dipundak merekalah neegara dan bangsa ini akan selamat dari kehancuran.
Sementara itu menurut Departemen Kesehatan RI, remaja dimasa depan haruslah menjadi remaja yang berkualitas yang memiliki 10 karakteristik dasar:
1. Beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Sehat jasmani dan rohani
3. Makan dengan cukup dan gizi seimbang
4. Olah raga yang teratur
5. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
6. Menjaga pergaulan yang bertanggung jawab.
7. Anti rokok, anti alkohol dan anti narkoba
8. Aktif menjadi penggerak hidup sehat di rumah dan di lingkungannya
9. Berkepribadian, berdisiplin dan berbudi luhur
10. Turut aktif dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.
Adalah sebuah realitas bahwa anak remaja di Indonesia sekarang ini, menunjukkan karakteristik yang kurang menguntungkan bagi kemajuan dan kemandirian bangsa di masa depan. Beberapa karakteristik yang terlihat pada sebagian anak remaja kita yang terpantai adalah sebagai berikut:
1. Masih rendahnya partisipasi aktir remaja dalam pembangunan karena tidak memiliki ketrampilan yang memadai.
2. Menurunnya nilai keimanan dan ketqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
3. Menurunnya wawasan kebangsaan
4. Rendahnya daya saing dalam menghadapi globalisasi
5. Meningkatnya penyalahgunaan obat-obatan terlarang/minum-minuman keras
6. Meningkatnya kasus tindak kekerasan yang melibatkan remaja
7. Meningkatnya kegiatan pergaulan bebas di kalangan remaja.
Dalam upaya membenahi anak remaja kita agar karakteristiknya berubah ke arah yang lebih baik, serta mencapai kondisi yang ideal di masa depan, maka penangananya harus spesifik dengan langkah awal melakukan identifikasi secara personal, meliputi: (1) mempelajari karakter pribadinya, (2) mempelajari situasi dan kondisi orangtuanya, (3) mempelajari hobi yang bersangkutan, (4) jenis kegiatan yang diikuti, (5) teman dan kelompoknya, dan (6) tempat main yang sering dikunjungi.
Setelah mampu mengidentifikasi terhadap permasalahan remaja baik secara perorangan maupun kelompok, maka perlu dipegang beberapa prinsip dalam mewujudkan tujuan dimaksud, yaitu:
1. Bermakna pribadi, artinya tujuan sebaiknya mempunyai arti bagi masyarakat. Tujuan yang dikejar hanya untuk menyenangkan orang lain cenderung tidak menarik untuk dilakukan apalagi karena meniru atau ikut-ikutan dengan orang lain.
2. Realistik, artinya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan ada kemungkinan untuk mencapainya
3. Jelas dan rinci, karena tujuan yang luas dan abstrak tidak akan mampu mengarahkan remaja pada tujuan yang akan dicapai.
4. Menantang, artinya memerlukan usaha yang keras untuk mencapainya. Tidak dapat dicapai dengan mudah dan memerlukan pengerahan kemampuan secara optimal.
5. Beresiko sedang, yaitu kemungkinan tercapainya lebih besar dari pada kemungkinan gagalnya.
6. Dapat diukur, artinya ada kriteria ukuran keberhasilannya baik dalam kesatuan jumlah, mutu dan waktu
7. Mempunyai batasan waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Langkah selanjutnya adalah merealisasikan tindakan untuk menciptakan remaja agar dapat mencapai kondisi ideal seperti yang kita harapkan, melalui:
1. Pengembangan komunitas, melalui proses pengorganisasian yang dilaksanakan secara sitematis, terstruktur dan profesional dengan metode dan dukungan finansial yang memadai.
2. Pengorganisasian yang efektif demi kepentingan bersama
3. Peningkatan partisipasi aktif seluruh anggota.
Adapun strategi yang perlu diterapkan antara lain melalui:
1. Pemberdayaan sosial, yang mengandung makna peningkatan kemampuan dan ketrampilan dalam rangka memberikan peluang untuk dapat hidup mandiri dan dapat mengatasi masalahnya.
2. Kemitraan sosial, yang mengandung makna adanya kerjasama, kepedulian, kebersamaan dan jaringan kerja di antara semua pihak yang terlibat dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan.
3. Pengubahan tingkah laku dan penanaman nilai yang mengandung makna mengupayakan perubahan ke arah pembentukan persepsi yang tepat, sikap dan keyakinan tentang apa yang baik dan harus dilakukan serta apa yang buruk dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, menghilangkan perilaku yang melanggar nilai/norma dan menampilkan perilaku yang dapat diterima sesuai nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat.
Tolok ukur keberhasilan usaha mengantarkan remaja menuju kondisi yang ideal antara lain: (1) tindak pelanggaran hukum dan norma yang dilakukan oleh remaja dapat diminimalisir, (2) remaja memiliki dan mengusai ketrampilan kerja yang dapat dipergunakan sebagai bekal untuk menjamin kelangsungan hidupnya di kemudian hari.

BAB V
PENUTUP

Melalui buku ini telah banyak dibahas tentang bagaimana tumbuh kembang anak remaja, baik pertumbuhan fisik, perkembangan psikososial dan kepribadian maupun perkembangan kognitif dan moralnya.. Termasuk pula telah dibahas tentang upaya penanganan dan pencegahan masalah remaja khususnya melalui jalur keluarga. Prinsip yang harus dipegang dalam mengawal proses tumbuh kembang anak remaja agar dapat berjalan efektif adalah berikan yang terbaik pada anak remaja kita dengan mengasuh dan membina secara bersungguh-sungguh selain tetap menjaga kesehatan fisik maupun psikisnya, agar sang anak dapat melewati masa remajanya dengan mulus tanpa hambatan yang berarti.
Mengasuh dan membina tumbuh kembang anak remaja dengan tepat, akan banyak pengaruhnya terhadap upaya pencapaian tumbuh kembang anak remaja yang sesuai dengan harapan kita bersama. Dengan tumbuh kembang yang optimal, anak akan menjadi generasi penerus yang berkualitas karena tidak saja sehat, cerdas dan trampil, tetapi juga bertaqwa kepada Tuhan YME, berkepribadian luhur, bermoral/berbudi pekerti baik baik serta mau dan mampu menjadi generasi masa depan yang memiliki semangat hidup, berwawasan luas, disiplin, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, mereka akan menjadi insan pembangunan yang tangguh, tanggap, tanggon sehingga mampu membawa kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia dikemudian hari.
Akhirnya, penulis berharap buku ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya agar masyarakat khususnya para orangtua yang memiliki anak remaja mempunyai pengetahuan dan wawasan yang cukup luas tentang bagaimana mengasuh dan membina anak remajanya. Dengan pengetahuan dan wawasan yang memadai, maka para orangtua akan dengan tepat dapat menentukan langkah apa yang terbaik bagi masa depan anak remajanya sebagai generasi penerus yang diharapkan mampu membawa nama harum bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara maupun bagi dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Halwani, A.F. 1995. Melahirkan Anak Saleh. Jakarta: Mitra Pustaka

Ali Nugraha dan Yeni Rahmawati, 2006. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta: Universitas Terbuka

Ari Ginanjar, 2004, Rahasia Sukses Membangun kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Arga

Arisman, 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan, Jakarta: EGC

Bimo Walgito. 1991. “Hubungan antara Persepsi Sikap Orangtua dengan Harga Diri para Siswa Sekolah Menengah Umum di Propinsi Jawa Tengah”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Bimo Walgito, 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.

Bimo Walgito, 2002. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset

BKKBN, 2004, Buku Pegangan Kader BKR, Yogyakarta: BKKBN DIY

BKKBN, 2005, Modul Kesehatan Reproduksi Remaja, Yogyakarta: BKKBN DIY

BKKBN. 2007. “Tiap Hari 100 Remaja Lakukan Aborsi” Rubrik Berita http://www.bkkbn.go.id. Waktu Akses 13 Desember 2007.

Depag RI. 2000. Al Qur’an Dan Terjemahannya. Jakarta: Depag RI

Depdiknas, 2003. Wawasan Kependidikan. Jakarta: Dirjen Dikdasmen

Depkes RI, 1995. 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Depkes RI, 2003. Prinsip Mengasuh Anak dalam Keluarga. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Depkes RI

Depkes RI. 1998. KMS Remaja. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat

Doge, D.T Colker, L.J & Heroman, C, 2002. The Creative Curiculum for Preschool. Washington: Teaching Strategies, Inc.

Djoko Pekik Irianto. (2007). Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Yogyakarta: Penerbit Andi
Elizabeth B. Hurlock. 1992. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Erny Tri Susilaningsih. 2006. “Pengaruh Pola Asuh Orangtua terhadap Perkembangan Moral Anak” Laporan Penelitian. Yogyakarta: PGTKI Bina Insan Mulia.

Hermansyah. 2001. Pengembangan Moral. Depdiknas, Jakarta.

Hurlock. 1991. Adolescent Development. Tokyo: Mc. Graw Hill

Irawan Prayitno. TT. Anakku Penyejuk Hatiku. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna

Irawati Istadi. 2002. Mendidik dengan Cinta. Jakarta: Pustaka Inti

John W. Santrock, 2002. Life Span Development – Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga

JB. Soebroto. 2007. “Angka Penularan AIDS Indonesia Tertinggi di Dunia” Opini Kedaulatan Rakyat 1 Desember 2007.

Kedaulatan Rakyat. 1994. “ 22% Pelajar DIY Setuju Hubungan Seks Di Luar Nikah” Rubrik Berita 13 April 1994.

Lazarus. 1961. Adjustment and Personality. New York: McGraw Hill Book Company

Mardiya. 2005. “Buramnya Wajah Keluarga Kita”. Artikel Kedaulatan Rakyat 17 April 2005 hal 8.

Mardiya. 2000. Kiat-kiat Khusus Membangun Keluarga Sejahtera. Wates: BKKBN Kulon Progo.

Mardiya. 2005. “Membangun Keluarga Berketahanan” Rubrik Opini Kedaulatan Rakyat, 28 Juni 2005.

Mardiya dan Sudarmi. 2007. “Membangun Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera” Rubrik Opini Kedaulatan Rakyat, 28 Juni 2007

Mardiya dan Sudarmi. 2007. “Kondom, Antara Stigma dan Manfaat” Rubrik Opini Kedaulatan Rakyat, 1 Desember 2007.

Mariyati Sukarni, 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Michael S Josephson, Val J. Peter dan Tom Dowd. 2003. Menumbuhkan 6 Sikap Remaja Idaman. Bandung: Kaifa

Muhammad Ali dan Muhammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Muhammad Ghazali. 2007. Mengubah Takdir Mengubah Nasib. Surabaya: Bone Pustaka

Musa Subaiti. 2003. Akhlak Keluarga Rasulullah. Jakarta: Lentera

Navigator. 17 April 2007. “Anakku Remaja”. Network & Reswources e-alumni. Waktu Akses 13 Desember 2007

Otib Satiti Hidayat, 2006. Metode Pengembangan Moral dan Nilai-nilai Agama. Jakarta: Universitas Terbuka.

Papalia, D.E Olds, S. W & Fieldman, R.D, 2004. Human development. 9 th edition. New York: Mc Graw-Hill Companies

Patricia H. Berne & Louis M. Savary, 1994. Membangun Harga Diri Anak, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

PKBI, IPPF, BKKBN dan UNFPA, 2000, Napza, Jakarta: PKBI

Pratiwi, W.W. 2002. Gaya Pengasuh Orangtua dalam Keluarga. PSW UNY, Yogyakarta.

Sarlito Wirawan Sarwono, 2006, Psikologi Remaja, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Said Agil Munawar. 2002. Al Qur’an Membangun Tardisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Pers

Sastra Adiwijaya dan Abd. Mutholib Ilyas. TT. Kamus Lengkap Biologi. Surabaya: CV Putra Karya.

Satyawati Yun Irianti. 1997. “Remaja Menyimpang Butuh Rangsangan Moral” Artikel Kedaulatan Rakyat 4 April 1997.

Seksi Ketahanan Keluarga, 2008. Penanganan dan Pencegahan Masalah Anak Remaja Melalui Keluarga. Wates: Dinas Dukcapilkabermas Kab. Kulon Progo

Singgih D. Gunarsa, 1995, Psikologi Perkembangan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Solihin Pudjiadi, 2005, Ilmu Gizi Klinis pada Anak, Jakarta: Balai Penerbit FKUI Jakarta

Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sahung Seto.

Sri Esti Wuryani Djiwandono, Memecahkan Masalah Tingkah Laku Anak di Rumah dan Di Sekolah, Jakarta: Grasindo

Sri Yuni Murti Widayanti. 2005. “Pengaruh Pola Asuh Orangtua terhadap Kenakalan Anak”. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: B2P3KS.

Suhardjo dan Clara M Kusharta, 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Sumadi Suryabrata, 2006, Psikologi Kepribadian, Jakarta: RajaGrafindo Persada

Sumarwi Astuti. 2008. Peran Orangtua dalam Mencegah Penyalahgunaan Narkoba pada Remaja. Yogyakarta: B2P3KS Yogyakarta

Sumarwi Astuti. 2008. Hubungan antara Keharmonisan Orangtua dengan Kecenderungan Anak Berperilaku Negatif. Yogyakarta: B2P3KS Yogyakarta

Sumarwi Astuti. 2008. Analisis terhadap Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Perilaku Anak. Yogyakarta: B2P3KS Yogyakarta.

Widayanti, S.Y.M dan Iryani, S.W. 2005. Pengaruh Pola Asuh Orangtua terhadap Kenakalan Anak .Yogyakarta.

Wiwik Toyo Santoso Dipo, dkk. 2007. Pengasuhan dan Pembinaan Tumbuh Kembang Anak. Wates: Dinas Dukcapilkabermas Kabupaten Kulon Progo.

Yulia Ariza, TT. Keseimbangan Intelegensi, Emosi dan Spiritual. Hand Out Diklat Pendidik PAUD. Yogyakarta: BPKB DIY

Yuliani Nurani Sujiono, dkk, 2006. Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta: Universitas Terbuka

Yusuf, S. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan remaja. Bandung: Rosda Karya
Zakiah Darajat. 2005. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang

LAMPIRAN

Tinggalkan komentar